Minggu, 29 Agustus 2010

Badai Matahari 2012 Setara 100 Bom Hidrogen?

Posted on Agustus 26, 2010 by Musadiq Marhaban

Badai Matahari pada 2012 atau 2013 akan jadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir.

Badai Matahari pada 2012 atau 2013 akan jadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir.

Setelah 10 tahun ‘terlelap’ dalam tidur panjangnya, Matahari bangun. Bangkitnya Sang Surya membuat para astronom bersiaga penuh.

Minggu ini, beberapa media Amerika Serikat (AS) memberitakan, Badan Antariksa AS, NASA memperingatkan ‘tsunami Matahari’ yang menciptakan fenomena aurora — saat suar Matahari memukul perisai Bumi awal Agustus lalu, hanya permulaan.

Itu hanya awal dari badai Matahari masif yang berpotensi merusak jaringan listrik dan satelit di seluruh planet Bumi.

NASA telah menangkis semua pemberitaan itu dengan mengatakan, hal itu bisa terjadi ‘dalam waktu 100 tahun atau hanya 100 hari’. Namun astronom Australia mengatakan, komunitas ilmuwan luar angkasa bertaruh badai Matahari bisa datang lebih cepat.

Meski mengeluarkan bantahan, NASA telah mengawasi aktivitas badai di Matahari sejak 2006. Dan berita yang beredar di AS menyebut badai matahari bisa terjadi di tahun bencana yang ‘diramalkan’ Hollywood — 2012.

Kilas balik ke belakang, badai Matahari pada 1859 dan 1921 menyebabkan kekacauan, badai itu memutus jaringan telegram dalam skala yang masif. Dan, badai 2012 diduga lebih berefek negatif.

“Konsensus umum di kalangan para astronom, badai Matahari pada 2012 atau 2013 akan jadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir,” kata dosen astronomi dan kolumnis, Dave Reneke, seperti dimuat laman News.com.au, 25 Agustus 2010.

Peringatan khususnya ditujukan untuk maskapai penerbangan, perusahaan telekomunikasi, dan siapapun yang tergantung pada sistem GPS modern.

“Bahkan bisa memutus rangkaian listrik dan ‘memukul’ satelit yang mengorbit, seperti yang terjadi tahun ini,” tambah Reneke.

Namun, ilmuwan tak begitu peduli apakah badai Matahari berikutnya terburuk dalam sejarah, ataukah separah badai 1859.

Yang jadi sumber kegelisahan adalah fakta bahwa masyarakat kita sangat tergantung dengan teknologi. Meski tak ada yang bisa memprediksikan efek badai Matahari 2012-2013 dalam masyarakat digital.

Sementara itu, Dr Richard Fisher, Direktur Divisi Heliophysics NASA, mengatakan, pukulan badai super seperti ‘sengatan’ yang bisa menyebabkan bencana bagi kesehatan dunia, layanan darurat, bahkan keamanan nasional — jika tak ada tindakan pencegahan yang diambil.

Dan Amerika jadi kampiun. Awal tahun ini AS menyelenggarakan latihan Boulder, Colorado, untuk memetakan apa yang mungkin terjadi jika bumi itu dipukul dengan badai seintens badai 1859 dan 1921.

NASA menyatakan, sesuai laporan National Academy of Sciences, jika badai yang sama dengan 1859 terjadi hari ini, kerugian diperkirakan sebesar $1 sampai $2 triliun. Perlu 10 tahun untuk pemulihan.

Saat badai Matahari menerjang, satelit diduga akan seperti berumur 50 tahun, GPS sama sekali tidak berguna. Dan ledakan badai Matahari diduga memiliki energi setara 100 bom hidrogen. Bom hidrogen memiliki kekuatan lebih besar lagi dari bom atom.

Sekadar diketahui, Maret 1954, AS telah mengujicoba bom hidrogen pertama bernama “Bravo” di Atol Bikini, Kepulauan Marshal, Samudera Pasifik. Bravo berkekuatan 10 megaton TNT atau kira-kira 700 kali energi bom atom Little Boy. Alhasil, jutaan ton pasir, batu karang, tumbuhan, dan fauna laut dalam radius 20 mil beterbangan membentuk cendawan raksasa membakar langit. Tiga Atol Bikini, yakni Bokonijien, Aerokojlol, dan Nam, tidak terlihat lagi di atas permukaan air.

“Kami tahu ini datang, tetapi kita tidak tahu seberapa buruk itu akan terjadi,” kata Dr Fisher kepada Reneke dalam edisi terbaru Australasian Science.

“Sistem akan terhenti. Suar Matahari akan mengubah medan magnet di bumi. Itu cepat, seperti petir. Itu efek matahari.” (Sumber)

GURU DI ANTARA TUNTUTAN PROFESIONALISME DAN REALITAS DUNIA PENDIDIKAN YANG BERAGAM

PENDAHULUAN

Profesi guru merupakan profesi yang amat mulia, karena ia menentukan masa depan anak didik, generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Di tangan guru, keberhasilan pencerdasan perserta didik dipertaruhkan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan kinerja guru yang professional, sesuai dengan keahlian dan kecakapan serta mampu mengorganisasi dan memanajemen perubahan secara progresif.
Dalam masyarakat tradisional, guru dipandang seseorang yang memberikan tauladan dan bisa segala hal. Guru benar-benar menjadi orang yang digugu dan ditiru. Seorang guru adalah seseorang yang berilmu dan memiliki akhlak dan budi pekerti yang patut diteladani. Kualitas akhlak lebih diutamakan daripada kecakapan keilmuan (Azra,2004:353)
Guru dalam pandangan masyarakat modern, dipandang sebagai sosok yang memiliki kecakapan keilmuan yang terlatih atau ahli dan dapat melakukan transfer keilmuan kepada orang lain. Guru tak ubahnya sebagai penjual jasa yang dibayar oleh negara atau satuan pendidikan tempat guru mengabdikan diri. Asumsi yang menempatkan guru sebagai tenaga pengajar, melakukan transfer keilmuan belaka. Suatu kondisi yang menempatkan relasi guru dengan murid sebagai penyedia dan pengguna jasa. Selesai transaksi, berkahir pula relasi di antara keduanya.
Perubahan-perubahan pola hubungan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perubahan di dalam masyarakat, berimplikasi terhadap hubungan guru dengan murid. Sosok guru dituntut untuk mampu menempat diri sebagai teman, sebagai orangtua, akan menciptakan hubungan terbuka yang memungkinkan berkembangnya potensi murid secara optimal. Tuntutan yang kadang melepaskan sendi-sendi hubungan etika antara yang tua dengan yang lebih muda..Sebagian keluhan dari mereka berpegang pada etika hubungan atau pergaulan antara sesama. Kerapkali kesalahan yang dilakukan oleh seorang siswa diangggap sebagai kegagalan guru dalam melakukan pendidikan. Pada hal bila dikalkulasi anak lebih banyak berada di rumah daripada di sekolah. Menandakan kesalahan anak merupakan tanggungjawab bersama antara orangtua dan sekolah, karenanya tanggungjawab keberhasilan anak bukan hanya tanggungjawab guru, tetapi utamanya menjadi tanggungjawab orangtua.
Terbukanya kran reformasi, mengalirnya issu demokratisasi, Hak Asasi Manusia, komponen yang turut memberikan pengaruh terhadap kinerja guru dan pola hubungan antara guru dengan murid (Sidi,2001). Reformasi telah memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan untuk kembali melakukan reorientasi terhadap tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan yang dibangun oleh negara. Perubahan yang berimplikasi terhadap perombakan terhadap profesi guru untuk kembali menempatkan guru sebagai profesi yang bernilai strategis untuk membangun peradaban bangsa seiring dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju dan beradab.
Namun di sisi lain perubahan dalam tatanan politik memberikan ekses negatif dalam dunia pendidikan, karena pada tataran tertentu reformasi dimaknai sebagai kebebasan berpendapat tanpa bisa menghargai hak-hak orang lain. Anak-anak kita belajar berdemonstrasi dari layar televisi dan berbagai media cetak yang bisa diakses dengan mudah. Guru-guru tidak tabu lagi untuk melakukan aksi mogok ataupun melakukan tuntutan perubahan terhadap sistem aturan yang mengungkungnya. Suatu realitas dalam kehidupan yang meminta semua pihak untuk berbenah, utamanya pada sistem pendidikan dan yang lebih sempit lagi dunia persekolahan untuk melakukan rekonstruksi terhadap apa yang telah dikerjakan. Rekonstruksi untuk memajukan pendidikan yang berimplikasi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia yang akan menentukan peradabannya. Tuntutan perubahan berimplikasi pula terhadap kinerja guru secara professional dalam menjalankan tugasnya sehingga apa yang telah dilakukan merupakan apa yang telah direncanakan. Hasil yang telah dilakukan dapat dievaluasi dan terbuka untuk melakukan revisi demi perbaikan kualitas produk (anak didik) dalam satuan pendidikan.

Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tuntutan profesionalisme guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik?
2. Bagaimanakah tuntutan sikap profesionalisme guru berhadapan dengan realitas pendidikan di sekolah yang kondisinya beragam?

1. Profesionalisme Guru dan Paradigma baru Pembelajaran
1.1 Profesionalisme Guru
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 revisi terhadap sistem pendidikan dilakukan sesuai dengan tuntutan perubahan reformasi dan bergulirnya demokratisasi serta menguatnya issu Hak Asai Manusia (HAM). Guru sebagai tenaga pendidikan mempunyai makna penting untuk berperan serta dalam mensukseskan tujuan pendidikan nasional yang bercita-cita terwujudnya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Untuk mencapai pada cita-cita tujuan pendidikan nasional , maka dibutuhkan guru sebagai pendidik. Guru yang mampu membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, dan menjadi pengganti orangtua di sekolah. Guru sebagai pendidik dituntut memiliki kecakapan secara akademis dan juga secara mental mampu memberikan teladan yang baik bagi anak didiknya.
Guru sebagai pendidik secara kelembagaan memiliki beban tanggungjawab administratif yang harus dilakukan untuk melakukan tugasnya di satuan pendidikan, sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 39 UU No.20 Tahun 2003:
• Guru sebagai pendidik melaksanakan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan;
• Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik di perguruan tingi.

1.2 Tugas Guru
Ada dua tugas yang disandang guru sebagai pendidik, yaitu tugas administratif, dan tugas professional yang saling melapisi.(Sidi,2001) Tugas administrasi untuk menopang kerja profesinya, mengelola subjek yang menjadi tanggungjawabnya dalam pendidikan, mengembangkan dan mengawasi perkembangan kemajuan subyek didik. Serta memberikan pelayanan demi tercapainya keberhasilan pembelajaran yang direncanakan secara progresif dan berkesinambungan. Sementara secara professional tugas guru ditekankan kepada tugas profesi seorang guru, menyiapkan pembelajaran, membuat program semester, program tahunan, silabus, alat evaluasi, serta melakukan penilaian terhadap anak didiknya untuk mengetahui tingkat ketuntasan pembelajarannya.
Kegagalan seorang anak didik membutuhkan guru untuk melakukan bimbingan. Kurang cakapnya anak menjadi salah satu tanggungjawab guru untuk melalukan pelatihan agar anak didik lebih terlatih dan terampil.
Tugas sebagai guru professional merupakan tugas mulia yang membutuhkan kecakapan dan keahlian tertentu disamping kepribadian yang menarik dan simpatik untuk bisa memainkan peran yang diamanatkan dalam Undang-Undang. No. 14 tahun 2005 bukan hanya sebagai pengajar, tetapi dituntut sikap profesionalitas sebagai bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip yang dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
• memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
• memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia;
• memiliki mkualifikasi akademik atau latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
• memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
• memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofeionalan;
• memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
• memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjtuan dengan belajar sepanjang hayat;
• memiliki jaminan perlindungan hokum dalam melaksnakan mtugas keprofesionalan; dan
• memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

1.3 Quantum Teacher
Dalam teori Kuantum, guru sebagai “Quantum Teacher” mengubah potensi energi dalam diri murid menjadi cahaya bagi orang lain. Seorang guru yang bercirikan “Quantum Teacher”, antara lain:
o Antusias; menampilkan semangat hidup
o Positif; melihat peluang setiap saat
o Berwibawa; menggerakkan orang
o Supel: mudah menjalin hubungan dengan beragam siswa
o Humoris; berhati lapang untuk menerima kesalahan
o Luwes; menemukan lebih dari satu cara untuk mencapai hasil
o Fasih; berkomunikasi dengtan jelas
o Tulus; memiliki niat dan motivasi positif
o Spontan; dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
o Menarik dan tertarik; mengairkan setiap informasi dengan pengalaman hidup siswa dan peduli akan diri siswa
o Menganggap siswa mampu; percaya akan mengorkestrasi kesuksesan siswa
o Menetapkan dan memelihara harapan tinggi; pedoman yang memacu pada setiap siswa untuk berusaha sebaik mungkin
o Menerima; mencari dibalik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti ( De Porter, 2001:115-116)
Dalam tuntutan perkembangan pembelajaran mutakhir pembelajaran kontekstual menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pembelajaran yang menekankan pada kompetensi yang harus dikuasai siswa. Pemikiran mengenai pembelajaran kontekstual menekankan anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah.(Nurhadi,2003:3)
Ciri –ciri Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) antara lain:
1. anak didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan melalui perbuiatan
2. anak didik dapat menggunakan peralatan dan lingkungan sebagai sumber belajar menarik dan sebagai sumber belajar yang menarik dan menyenangkan
3. anak didik merasa aman dan nyaman berlama-lama tinggal di sekolah
4. anak didik lebih kooperatif dalam pembelajaran
5. anak didik termotivasi memecahkan masalah dan kreatif mengungkapkan gagasan

1.4. Hak dan Kewajiban Guru
Menurut UU Sisdiknas no 20 tahun 2003,
(1) Hak Pendidik dan tenaga pendidik berhak memperoleh:
• penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai
• penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja
• pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
• perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan
• kesempatan menggunakan sarana, prasarana, fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
(2) Kewajiban tenaga pendidik, antara lain:
• menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif dinamis dan dialogis
• mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
• memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Peran guru sebagai fasilitator merupakan kemampuan mengorkestrasi belajar agar menjadi menggairahkan, menarik, menimbulkan minat, penuh dengan kewajiban dan penemuan. Sebagai fasilitator guru menjadikan dirinya sebagai pelayan siswa, menjadikan siswa sebagai subyek yang memiliki potensi yang bisa dikelola untuk mengmabngkan diri.
Guru memainkan peran pula sebagai motivator siswa, mempengaruhi perilaku melalui tindakan mendorong siswa untuk berterimakasih kepada mitra mereka dan menghargai atas orang lain bagi keberhasilan kerjasama mereka. Peran yang akan turut memberikan kontribusi keberhasilan dalam pembelajaran yang memiliki ketarandalan tercapainya tujuan pembelajaran , yaitu pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Suatu pola pembelajaran yang memberikan kesempatan dan peluang dan mengembangkan motivasi internal peserta didik untuk meningkatkan diri menjadi dirinya sendiri, juga kemampuan mengebangkan kemampuan kreatifitas, adaptasi, kooperatif, menggali dan menyerap serta memanfaatkan peluang-peluang baru.
Pola pembelajaran yang menghargai murid sebagai indivisu yang unik, serta adanya karakter pembelajaran yang aktif , kreatif, efektif dan menyenangkan secara implikatif merupakan penyelenggaraan school reform. Suatu ekhendak menjdikan sekolah sebagai lembaga mini society. Di antaranya memiliki karakteristik pembelajaran di kelas dengan suasan psikologis yang nyaman, pembelajaran menarik, motivasi belajar siswanya tingi, dan sebagainya (Dikdasmen,2002:29-30)

2. Profesionalisme Guru dan Realitas Dunia Pendidikan
2.1. Guru sebagai Pendidik
Guru sebagai pendidik profesional tak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab sebagai tenaga administratif yang harus memenuhi persyaratan administrasi.. Guru harus memiliki sertifikat keahlian dan secara profesional memiliki bakat dan kecintaan untuk mengembangkan dunia pendidikan. Tuntutan semacam ini merupakan tuntutan profesional untuk tercapainya kemajuan pendidikan secara progresif. Jika kualitas tenaga pendidik kualitasnya bagus, diharapkan produk dari satuan pendidikan hasilnya akan bagus.
Secara profesional guru dituntut untuk menyiapkan perangkat pembelajaran sebagai perencaaan untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan penilaian sehingga dapat mengukur target kompetensi yang diharapkan. Juga sebagai tenaga pendidik guru senantiasa mnengembangkan diri untuk menempatkan diri di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kemauan untuk mengembangkan diri bisa menjadi motivasi bagi peserta didik, sebagai tauladan yang mencerminkan kepribadian positif.
Dalam menjalankan tugas profesional, kecakapan guru menjadi kebutuhan utama, disamping kecakapan personal untuk menempatkan diri sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pendidik mampu mengarahkan dan mengembangkan kepribadian siswa bisa mengenal dirinya sendiri dan bisa menghargai keberadaan orang lain. Kecakapan atau keahlian akademis yang dimilikinya guru bisa melakukan transfer pengetahuan yang mengembangkan kemampuan kognitif. Maka, sebagai tenaga pengajar disyaratakan keahliaannya dalam bidang tertentu, dan sebagai pendidik harus mampu meberikan tauladan kepada peserta didik.

2.2. Profesionalisme Guru
Tidak berlebihan jika keberhasilan yang dilakukan guru dalam mengembangkan diri peserta didik sehingga mencapai kompetensi prestisius, perlu mendapatkan penghargaan yang sepadan. Penghargaan yang nyata dan bisa memotivasi kerja guru sehingga menjadi lebih baik lagi. Hal ini bukan hanya menyangkut penghargaan finansial, tetapi juga penghargaan berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau kenaikan pangkat sebagai motivasi untuk merangsang kerja guru supaya lebih berprestasi.
Semangat profesionalisme akan benar-benar bermakna jika tuntutan kerja professional benar- benar dapat difasilitasi di setiap satuan pendidikan atau Pemerintah Daerah. Guru yang bekerja baik seharusnya mendapatkan reward yang berbeda dengan guru yang kinerjanya kurang baik. Sikap profesionalisme harus diimbangi pengelola sekolah untuk bisa mensejahterakan guru. Artinya kebutuhan guru untuk bisa bekerja dengan baik bisa difasilitasi oleh satuan pendidikan, sehingga guru tidak perlu berpikir dari mana memperoleh bahan perlengkapan untuk memberikan pembelajaran yang terbaik bagi siswanya. Keterbatasan kerapkali menjadi sumber inspirasi untuk melahirkan inovasi, akan tetapi untuk meralisasikan inovasi membutuhkan sarana dan prasarana yang harus didukung oleh setiap satuan pendidikan.

2.3. Guru sebagai Motivator
Guru sebagai motivator dan fasilitator dalam tugas profesionalisme mengemban implikasi terhadap peran guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber keilmuan, tetapi hanya menjadi salah satu sumber yang mampu memberikan dorongan terhadap siswa untuk menggali informasi. Paradigma semacam merupakan fenomena aktual beriring dengan kesadaran hidup berdemokrasi. Kesadaran yang memposisikan guru dan murid sebagai subyek yang berbeda dan bisa saling memberi dan menerima. Murid memiliki pengalaman yang berbeda dengan guru. Di antara siswa yang satu dengan yang lain tidak pernah sama, sehingga perlu diperlakukan secara individual untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Kekuatan memotivasi siswa akan mendorong peserta didik untuk menggali informasi dari pengalamannya, kemudian dikomunikasikan untuk menunjukkan kecakapan dan kompetensi yang dikuasainya.
Peran guru sebagai fasilitator menjadi penting untuk bisa mengarahkan anak menemukan jalan untuk bisa mengenal diri dan mengaktualisasikan diri. Sebuah peran guru yang membutuhkan pengorbanan guru untuk memahami keinginan siswa, sehinga siswa merasa nyaman dan aman dalam belajar. Hal ini akan tampak manakala guru melakukan pembelajaran di kelas, dalam mengelola kelas untuk mampu menjembatani antara kebutuhan siswa yang beragam.

2.4. Guru dan Realitas Dunia Persekolahan
Diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, memberikan peluang baru dan perubahan paradigma pendidikan. Pembelajaran tidak hanya menyangkut kepada kecakapan kognitif, tetapi juga harus mampu mengembangkan kecakapan afektif dan psikomotorik. Kecerdasan anak bukan hanya kognitif tetapi ada multiple intelegensi yang harus dipahami sehingga pembelajaran bisa mengelola kecerdasan peserta didik yang beragam. Tidak ada diskriminasi dalam memperlakukan anak. Setiap peserta didik adalah unik, dan memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Pembelajaran yang humanis merupakan kebutuhan dalam pendidikan yang memandang keragaman peserta didik.
Upaya untuk mencapai pengembangan potensi dan tercapainya kompetensi yang ditargetkan membutuhkan program perencanaan secara progresif dan pelaksanaan sesuai dengan yang telah direncanakan. Serta hasil kegiatan bisa dievaluasi atau terukur dengan baik.
Pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan merupakan tuntutan kebutuhan yang memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan diri, menggali informasi secara aktif. Perlakuan yang bisa mendorong kreatifitas, yaitu kemampuan untuk mengatasi persoalan atau permasalahan tanpa pernah merasa putus asa. Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang mungkin bisa dilakukan. Sehingga pembelajaran bisa berlangsung efektif dalam pencapaian kompetensi dan keberhasilan peserta didik mengembangkan diri. Juga terciptanya rasa nyaman dalam belajar dan menyenangkan. mendorong bangkitnya kebutuhan peserta didik terhadap pelajaran yang diikuti.
Dalam Quantum Teaching, pembelajaran diharapkan mampu mengembangkan potensi diri dalam setiap diri peserta didik untuk bisa menjadi cahaya dan pencerahan bagi orang lain. Pengembangan potensi energi dalam peserta didik dapat berlangsung dengan memberikan pengalaman sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran yang mampu mengembangkan kecakapan logic-matematik, kecakapan musical dan bahasa, kinestetik kecakapan alamiah sehingga anak bisa mengekspresikan diri tanpa rasa takut dan malu, dan percaya diri akan kemampuan atau potensi yang dimiliki.

2.5 Menuju Profesionalisme Guru
Memfasilitasi kebutuhan belajar dengan ragam potensi yang ada dalam diri siswa bukan merupakan hal yang mudah. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi memberikan peluang untuk mengembangkan aneka pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Serta upaya pengembangan potensi peserta didik secara personal, sampai kini terus-menerus mencari format yang paling tepat.Upaya untuk memberikan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat setempat, sebuah pemberdayaan lokal untuk bisa mencapai kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional. Kendala untuk dapat terciptanya profesionalisme guru dan hubungannya dengan perubahan kurikulum yang berupaya untuk melakukan diversifikasi pembelajaran dan memberikan otonomi dan peluang kreatifitas bagi guru untuk mengoptimalkan kerjanya secara professional.Penyebabnya, antara lain:,pertama Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian disempurnakan dengan kurikulum 2006 menimbulkan banyak tafsir di tiap satuan pendidikan. Penyusunan visi dan misi sekolah kadang dirasakan kurang realistik, tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Serta tidak dilibatkannya tokoh masyarakat dan komite sekolah dalam penentuan tujuan dan arah nkebijakan sekolah yang relevan. Peluang penyusunan silabus sesuai dengan kondisi setempat di tiap satuan pendidikan, masih menjadi beban administrative dan terjebak kepada formalitas tanpa ada upaya inovatif secara konstruktif
Kedua,Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) belum mampu memberikan fasilitas yang memadai terhadap kebutuhan satuan pendidikan. Sekolah dan Dinas Pendidikan belum mengoptimalkan peran komite sekolah dan keberadaan dewan pendidikan di setiap daerah. Sehingga orangtua belum terlibat secara optimal untuk turut serta memajukan sekolah Perubahan paradigma pembelajaran sulit dilakukan guru karena tidak didukung oleh kondisi lingkungan, serta keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah.
Ketiga , Perubahan paradigma pembelajaran masih sebatas wacana dan membutuhkan dukungan dan keberanoian dari tiap satuan pendiidkan untuk melaksnakannya secara progresif. Dibutuhkan kemauan keras guru untuk selalu melakukan perubahan, bagaimana memberikan hal terbaik bagi siswanya. Perubahan yang membuat anak betah belajar di sekolah dan termotivasi untuk menggali informasi tanpa merasa lelah atau putus asa. Kekmauan semacam ini akan sangat bermakna jika dilandasi dengan penuh keikhlasan dan kejujuran.

PENUTUP
Guru sebagai profesi menuntut adanya kerja secara professional yang menuntut adanya kemampuan administratif , merencanakan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana, serta mengevaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan.
Guru sebagai Pendidik dituntut untuk mampu memberikan ilmu sesuai dengan keahliannya serta mampu memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan peserta didik untuk bisa mengembangkan potensi diri, mengenal diri dan melakukan aktualisasi kepribadiannya, serta sebagai pendidik guru mampu memberikan tauladan yang baik
Tuntutan terhadap sikap profesionalisme membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dalam satuan pendidikan tempat guru mengabdikan diri. Serta perlu pemberian penghargaan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) atas prestasi yang dicapai guru dalam kerja profesionalnya. Penghargaan baik secara finansial ataupun struktural sehingga memberikan motivasi kerja guru untuk terus-menerus mengembangkan diri dan berprestasi.
Hadirnya Forum Ilmiah Pendidik, merupakan ruang yang dapat menjadi mediasi persoalan pendidikan di tingkat paraksis kepada pembuat kebijakan di tingkat local (pemerintahan Daerah) regional (Pemerintahan Provinsi) maupun nasional (Pemerintah Pusat). Ruang forum ilmiah pendidik untuk kemudian direspon secara positif dan progresif untuk mencapai tuntutan kerja guru secara professional serta tercapainya tujuan pendidikan nasional di antara keragaman sekolah yang ada.

Daftar Pustaka

Azzra, Azzyumardi .2004. Birokrasi, Fobi Sekolah dan Citra Guru. Dalam Horison Esai Sastra Indonesia Kitab 2- Taufiq Ismail (editor), Jakarta: Horison dan Ford Foundation.
De Porter, Bobby, dkk.2001. Quantum Teaching, Bandung: Kaifa
Hermawati,Tati . 2006. Lesson Study” http://www.pikiranrakyat.com/ cetak//042006/ 18/99 forumguru.htm
Madjid, Nurcholis,2001. Pengantar langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas. Dalam Pengantar Menuju Masyarakat Belajar – Indradjati Sidi, Jakarta : Paramadina – LOGOS
Sidi, Indradjati, 2001, Citra Baru Guru di Era Reformasi dalam buku Menuju Masyarakatbelajar, Jakarta: Paramadina – LOGOS.
----------,2003. Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 20 tahun 2003Tentang Sistem Pendiidkan Nasional , Jakarta: Depdikmnas RI.
--------,2006. Undang-Undang No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, diperbanyak oleh Dewan Pendidikan Sumenep
---------, 2002, Penyelenggaraan School Reaform dalam konteks MPMBS di SMU, Jakarta: Depdiknas – Dirjen Dikdasmen – Direktorat Pendidikan Menengah Umum

TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI

Pendahuluan

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.
Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan.

A. Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Era Globalisasi identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset-riset yang tidak kenal lelah. Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.
Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi “ semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).
Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa tubuh seseorang yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).
Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman “ Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).
Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung agak menggembirakan. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).
Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?
Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.
Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

B. Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam
Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al-Quran sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Quran dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977.
Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan . manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan œanak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:
Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.
Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah long life education atau dalam bahasa Hadits Nabi sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).
Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.
Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.
Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.
Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Quran dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Quran dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.
Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.
Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.

C. Reformasi Paradigma Pendidikan
Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.
Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.
Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.
Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan “bukan malah mempersulit“ segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.
Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di Orde Reformasia ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.
Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan menggarap lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam.
2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981).
3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan dikudeta oleh pihak-pihak

Penutup
Gambaran solusi Islam terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara “ meminjam istilah Clifford Geertz “ Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.
Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994).


Daftar Pustaka

Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1
Asfar, Muhamad (1996), Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.
Brown, Chip, The Science Club Serves its Country dalam Esquire, December 1994.
Cairns, E. (1990), Impact of Television News Exposure on Children Perceptions of Violence in Northern Ireland Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.
Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), The Relation between Media Use and Childrens Civic Awareness, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.
Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.
Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), Television Weather Casts and their Role in Geographic Education, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.
Faruqi, Ismail al- (1987), Foreward dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.
Francis, Leslie J. (1997), The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.
Federspiel, Howard M. (1995), Pesantren dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.
Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), The Impact of Suicide in Television Movies, New England Journal of Medicine, 315, 690-694
Furnham, A. & Gunter, B. (1983), Political Knowledge and Awareness in Adolescent, Journal of Adolescence, 6, 373-385.
Gunter, B. (1984), Television as Facilitator of Good Behaviour among Children, Journal of Moral Education, 13, 152-159.
Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.
Hegell, A & Newburn, T. (1996), Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.
Hiesberger, J.M. (1981), The Ultimate Challenge to Religious Education dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359.
Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.
Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.
Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.
Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), Education in Islamic Society dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton King Abdulaziz University, hlm.82-84.
Rosenbaum, Ron (1995), Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.
Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), some Opportunity Costs of Television Viewing, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322.
Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), Adolescent Comprehension of televised Sexual Innuendos, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.
Sheehan, P.W. (1983),Age Trends and Correlats of Children Television Viewing, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.
Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children Perceptions of Social Reality, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.
Tan, A.S. (1979), Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.
Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.
UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.
Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992),A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164.
Young, Robert (1997), Science is Social Relations, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.
Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), Children Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude, dalam Journal of applied Social Psychology, 10, hlm.281-294.

MOTIVASI DAN BIMBINGAN DALAM BELAJAR

A. Pendahuluan
1.Pengertian Motivasi
Banyak para ahli yang sudah mengemukakan pengertian motivasi dengan berbagai sudut pandang mereka masing-masing, namun intinya sama, yakni sebagai suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu.
Mc. Donald mengatakan bahwa, Motivation is a energi change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions. Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktifitas belajar.
Seseorang yang melakukan aktivitas belajar secara terus menerus tanpa motivasi dari luar dirinya merupakan motivasi intrinsik yang sangat penting dalam aktivitas belajar. Namun, seseorang yang tidak mempunyai keinginan untuk belajar, dorongan dari luar dirinya merupakan motivasi ekstrinsik yang diharapkan. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik diperlukan bila motivasi intrinsik tidak ada dalam diri seseorang sebagai subjek belajar.
Guru-guru sangat menyadari penting motivasi di dalam membimbing belajar murid. Berbagai macam teknik misalnya kenaikan tingkat, penghargaan, peranan-peranan kehormatan-kehormatan, piagam-piagam prestasi, pujian dan celaan telah digunakan untuk mendorong murid-murid agar mau belajar. Ada kalanya, guru-guru mempergunakan teknik-teknik tersebut secara tidak tepat.
Bukan hanya sekolah-sekolah yang berusaha memberi motivasi tingkah laku manusia kearah perubahan tingkah laku yang diharapkan. Orang tua atau keluarga pun telah berusaha memotivasi belajar anak-anak mereka. Kelompok yang berkecimpung dibidang “Manajement“ yang membuat rencana “Insentive” baru untuk meningkatkan produksi, adalah berusaha memotivasi perubahan-perubahan dalam tingkah laku. Kaum pengusaha mengeluarkan biaya setiap tahun untuk memasang advertensi, berarti memotivasi orang-orang agar mau membeli dan menggunakan hasil-hasil usahanya.
Dari uraian diatas, ternyata kesadaran tentang pentingnya motivasi bagi perubahan tingkah laku manusia telah dimiliki, baik oleh para pendidik, para orang tua murid maupun masyarakat.
B. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik
1. Motivasi Intrinsik
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Kemudian kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya (misalnya kegiatan belajar), maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Sebagai contoh konkrit, seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah tingkah lakunya secara konstruktif, tidak karena tujuan yang lain-lain. “intrinsik motivations are inherent in the learning situations and meet pupil-needs and purposes”. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Seperti tadi dicontohkan bahwa seorang belajar, memang benar-benar ingin mengetahui segala sesuatunya, bukan karena ingin pujian atau ganjaran.
1. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh itu seseorang itu belajar,karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan akan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya,atau temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik,atau agar mendapat hadiah. Jadi kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya, tidak secara langsung bergayut dengan esensi apa yang dilakukannyn itu. Oleh karena itu motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.
C. Prinsip-Prinsip Motivasi Belajar
Aktivitas belajar bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan yang terlepas dari factor lain. Aktivitas belajar merupakan kegiatan yang melibatkan unsure jiwa dan raga. Belajar tak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat baik dari dalam yang lebih utama maupun dari luar sebagai upaya lain yang tak kalah pentingnya.
Faktor lain yang mempengaruhi aktivitas belajar seseorang itu dalam pembahasan ini disebut motivasi. Motivasi adalah gejala psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri sesorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi bisa juga dalam bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya
Motivasi mempunyai peranan yang strategis dalam aktivitas belajar seseorang. Tidak ada seorang pun yang belajar tanpa motivasi. Tidak ada motivasi berarti tidak ada kegiatan belajar. Agar peranan motivasi lebih optimal, maka prinsip-prinsip motivasi dalam belajar tidak hanya diketahui, tetapi juga harus diterangkan dalam aktivitas belajar mengajar. Ada beberapa prinsip motivasi dalam belajar seperti dalam uraian berikut.
1. Motivasi Sebagai Dasar Penggerak Yang Mendorong Aktivitas Belajar
Seseorang melakukan aktivitas belajar karena ada yang mendorongnya motivasilah sebagai dasar penggeraknya yang mendorong sseorang untuk belajar. Seseorang yang berminat untuk belajar belum sampai pada tataran motivasi belum menunjukkan aktivitas nyata. Minat merupakan kecenderungan psikologis yang menyenangi sesuatu objek, belum sampai melakukan kegiatan. Namun, minat adalah motivasi dalam belajar. Minat merupakan potensi psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk menggali motivasi. Bila seseorang sudah termotivasi untuk belajar maka dia melakukan aktivitas belajar dalam rentangan waktu tertentu. Oleh karena itulah, motivasi diakui sebagi dasar penggerak yang mendorong aktivitas belsajar seseorang.
1. Motivasi Intrinsic Lebih Utama Daripada Motivasi Ekstrinsik Dalam Belajar
Dari seluruh kebijakan pengajaran, guru lebih banyak memutuskan memberikan motivasi ekstrinsik kepada setiap anak didik. Tidak pernah ditemukan guru yang tidak memakai motivasi ekstrinsik dalam pengajaran. Anak didik yang malas belajar sangat berpotensi untuk diberikan motivasi ekstrinsik oleh guru supaya dia rajin belajar.
Efek yang tidak diharapkan dari pemberian motivasi ekstrinsik adalah kecendrungan ketergantungan anak didik terhadap segala sesuatu di luar dirinya. Selain kurang percaya diri, anak juga bermental pengharapan dan mudah terpengaruh. Oleh karena itu, motivasi intrinsik lebih utama dalam belajar.
Anak didik yang belajar berdasarkan motivasi intrinsik sangat sedikit terpengaruh dari luar. Semangat belajarnya sangat kuat. Dia belajar bukan karena ingin mendapatkan nilai yang tinggi, mengharapkan pujian orang lain atau mengharapkan hadiah berupa benda, tetapi karena ingin memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Tanpa diberikan janji-janji yang muluk-muluk pun anak didik rajin belajar sendiri. Perintah tidak diperlukan, karena tanpa diperintah anak sudah taat pada jadwal belajar yang dibuatnya sendiri.
1. Motivasi Berupa Pujian Lebiah Baik Daripada Hukuman
Meski hukuman tetap diberlakukan dalam memicu semangat belajar anak didik, tetapi masih lebih baik penghargaan berupa pujian. Setiap orang senang dihargai dan tidak suka dihukum dalam bentuk apapun jaga. Memuji orang lain berarti memberikan penghargaan atas prestasi kerja orang lain. Hal ini memberikan semangat kepada seseorang untuk lebih meningkatkan prestasi kerjanya. Tetapi pujian yang diucap itu tidak asal ucap, harus pada tempat dan kondisi yang tepat. Kesalahan pujian bisa bermakna mengejek.
1. Motivasi Berhubungan Erat Dengan Kebutuhan Dalam Belajar
Kebutuhan yang tak bisa dihindari oleh anak didik adalah keinginan untuk menguasai sejumlah ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah anak didik belajar. Karena bila tidak belajar berarti anak didik tidak akan mendapat ilmu pengetahuan. Bagaimana untuk mengembangkan diri dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki bila potensi-potensi tidak ditumbuh kembangkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Jadi, belajar adalah santapan utama anak didik.
1. Motivasi Dapat Memupuk Optimisme Dalam Belajar
Anak didik yang mempunyai motivasi dalam belajar selalu yakin dapat menyelesaikan setiap pekerjaan yang dilakukan. Dia yakin bahwa belajar bukanlah kegiatan yang sia-sia. Hasilnya pasti akan berguna tidak hanya kini, tetapi dihari-hari mendatang. Setiap ulangan yang diberikan oleh guru bukan dihadapi dengan pesimisme, hati yang resah gelisah. Tetapi dia hadapi dengan tenang dan percaya diri. Biarpun ada anak didik yang lain membuka catatan ketika ulangan, dia tidak terpengaruh dan tetap tenang menjawab setiap soal item soal dari awal hingga akhir waktu yang ditentukan.
1. Motivasi Melahirkan Prestasi Dalam Belajar
Dari berbagai hasil penelitian selalu menyimpulkan bahwa motivasi mempengaruhi prestasi belajar. Tinggi rendahnya motivasi selalu dijadikan indikator baik buruknya prestasi belajar seseorang anak didik. Anak didik menyenangi mata pelajaran tertentu dengan senang hati mempelajari mata pelajaran itu. Selain memiliki bukunya, ringkasannya juga rapi dan lengkap. Setiap ada kesempatan selalu mata pelajaran yang disenangi itu yang dibaca. Wajarlah bila isi mata pelajaran itu dikuasai dalam waktu yang relatif singkat.
D. Fungsi Motivasi Dalam Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar pasti ditemukan anak didik yang malas berpartisipasi dalam belajar. Sementara anak didik yang lain aktif berpartisipasi dalam kegiatan, seorang atau dua orang anak didik duduk dengan santainya di kursi mereka dengan alam pemikiran yang jauh entah kemana. Sedikitpun tidak tergerak hatinya untuk mengikuti pelajaran dengan cara mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
Ketiadaan minat terhadap suatu mata pelajaran menjadi pangkal penyebab kenapa anak didik tidak bergeming untuk mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Itulah sebagai pertanda bahwa anak didik tidak mempunyai motivasi untuk belajar. Kemiskinan motivasi intrinsik ini merupakan masalah yang memerlukan bantuan yang tidak bisa ditunda-tunda. Guru harus memberikan suntikan dalam bentuk motivasi ekstrinsik. Sehingga dengan bantun itu anak didik dapat keluar dari kesulitan belajar.
Bila motivasi ekstrisik yang diberikan itu dapat membantu anak didik keluar dari lingkaran masalah kesulitan belajar, maka motivasi dapat diperankan dengan baik oleh guru. Peranan yang dimainkan oleh guru dengan mengandalkan fngsi-fungsi motivasi merupakan langkah yang akurat untuk menciptakan iklim belajar yang kondusip bagi anak didik.
Baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrisik sama berfungsi sebagai pendorong, penggerak, dan penyeleksi perbuatan. Ketiganya menyatu dalam sikap terimplikasi dalam perbuatan. Dorongan adalah fenomena psikologis dari dalam yang melahirkan hasrat untuk bergerak dalam menyeleksi perbuatan yang akan dilakukan. Karena itulah baik dorongan atau penggerak maupun penyeleksi merupakan kata kunci dari motivasi dalam setiap perbuatan dalam belajar.
Untuk jelasnya ketiga fungsi motivasi dalam belajar tersebut diatas, akan diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut.
1. Motivasi Sebagai Pendorong Perbuatan
Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada sesuaru yang dicari muncullah minatnya untuk belajar. Sesuatu yang belum diketahui itu akhirnya mendorong anak didik untuk belajar dalam rangka mencari tahu. Jadi, motivasi yang berfungsi sebagai pendorong ini mempengaruhi sikap apa yang seharusnya anak didik ambil dalam rangka belajar.
2. Motivasi Sebagai Penggerak Perbuatan
Dorongan psikologis yang melahirkan sikap terhadap anak didik itu merupakan suatu kekuatan yang tak terbendung, yang kemudian terjelma dalam bentuk gerakan psikofisik. Disini anak didik sudah melakukan aktifitas belajar dengan segenap raga dan jiwa. Akal pikiran berproses dengan sikap pada yang cenderung tunduk dengan kehendak perbuatan belajar. Sikap berada dalam kepastian perbuatan dan akal pikiran mencoba membedah nilai yang terpatri dalam wacana, prinsif, dalil, dan hukum, sehingga mengerti betul isi yang dikandung.
3. Motivasi Sebagai Pengarah Perbuatan
Anak didik yang mempunyai motivasi dapat menyeliksi mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang diabaikan. Seorang anak didik yang ingin mendapatkan sesuatu dari suatu mata pelajaran tertentu, ttidak mungkin dipaksakan untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Pasti anak didik akan mempelajari mata pelajaran dimana tersimpan sesuatu yang akan dicari itu. Sesuatu yang akan dicari anak didik merupakan tujuan belajar yang akan dicapainya. Tujuan belajar itulah sebagai pengarah yang memberikan motivasi kepada anak didik dalam belajar.
E. Bentuk-Bentuk Motivasi Dalam Belajar
Dalam proses enteraksi belajar mengajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik, diperlukan untuk mendorong anak didik agar tekun belajar. Motivasi ekstrinsik sangat diperlukan bila ada diantara anak didik yang kurang berminat mengikuti pelajaran dalam jangka waktu tertentu. Peranan motivasi ekstrinsik cukup besar untuk membimbing anak didik dalam belajar. Hal ihi perlu disadari oleh guru. Untuk itu seorang guru biasanya memanfaatkan motivasi ekstrinsik untuk meningkatkan minat anak didik agar lebih bergairah belajar meski terkadang tidak tepat. Drs. Wasty Soemantoe (1984) mengatakan, bahwa guru-guru sangat menyadari pentingnya motivasi dalam bimbingan belajar murid. Dalam berbagai teknik, misalnya kenaikan tingkat, penghargaan, peranan-peranan kehormatan, piagam-piagam prestasi, pujian, dan celaan telah diguinakan untuk mendorong murid-murid agar mau belajar. Adakalanya guru-guru mempergunakan teknik-teknik tersebut secara tidak tepat.
Kesalahan dalam memberikan motivasi ekstrinsik akan berakibat merugikan prestasi belajar anak didik dalam kondisi tertentu. Interaksi belajar mengajar menjadi kurang harmonis. Tujuan pendidikan dan pengajaran pun tidak akan tercapai dalam waktu yang relatif singkat, sesuai dengan target yang dirumuskan. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi psikologis anak didik sangat diperlukan guna mengetahui segala apa yang sedang dihadapi anak didik sehingga gairah belajarnya menurun.
Ada beberapa bentuk motivasi yang dapat dimanfaatkan dalam rangka mengarahkan belajar anak didik di kelas, sebagai berikut.
1. Memberi Angka
Angka dimaksud adalah sebagai simbol atau nilai dari hasil aktivitas belajar anak didik. Angka atau nilai yang baik mempunyai potensi yang besar untuk memberikan motivasi kepada anak didik lainnya. Namun, guru harus menyadari bahwa angka/nilai bukanlah merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna, karena hasil belajar seperti itu lebih menyentuh aspek kognitif. Bisa saja nilai itu bertentengan dengan efektif anak didik. Untuk itu guru perlu memberikan angka/nilai yang menyentuh aspek efektif dan keterampilan yang diperlihatkan anak didik dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari. Penilaian harus juga diarahkan kepadda aspek kepribadian anak didik dengan cara mengamati kehidupan anak didik di sekolah, tidak hanya semata-mata berpedoman pada hasil ulangan di kelas, baik dalam bentuk formatif atau sumatif.
1. Hadiah
Hadiah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai penghargaan atau kenang-kenangan/cenderamata. Dalam dunia pendidikan, hadiah bisa dijadikan sebagai alat motivasi. Hadiah dapat diberikan kepada anak didik yang berprestasi, rangking satu, dua tau tiga dari anak didik lainnya. Dalam pendidikan modern, anak didik yang berprestasi tinggi memperoleh predikat sebagai anak didik teladan dan untuk perguruan tinggi/universitas disebut sebagai mahasiswa teladan.sebagai penghargaan atas prestasi mereka dalam belajar, uang beasiswa supersemar pun mereka terima setiap bulan dengan jumlah dan jangka waktu yang ditentukan. Hadiah berupa uang beasiswa supersemar diberikan adalah untuk memotivasi anak didik/mahasiswa agar senantiasa mempertahankan prestasi belajar selama berstudi.
1. Kompetisi
Kompetisi adalah persaingan, dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk medorong anak didik agar mereka bergairah belajar. Bila iklim belajar yang kondusif terbentuk, maka setiap anak didik terlihat dalam kompetisi untuk menguasai bahan pelajarran yang diberikan. Selanjutnya, setiap anak didik sebagian individu melibatkan diri mereka masing-masing kedalam aktivitas belajar. Kondisi inilah yang dikehendaki dalam pendidikan modern, yakni cara belajar siswa aktif (CBSA), bukan catat buku sampai akhir pelajaran yang merupakan kepanjangan dari CBSA pasaran.
4. Ego-Involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada anak didik agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai suatu tantangan sehingga beklerja keras dengan mempertahankan harga diri, adalah sebagai salah ssatu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga diri. Begitu juga dengan anak didik sebagai subjek belajar. Anak didik akan belajar dengan keras bisa jadi karena harga dirinya.
1. Memberi Ulangan
Ulangan bisa dijadikan sebagai motivasi, anak didik biasanya mempersiapkan diri dengan belajar jauh-jauh hari untuk menghadapi ulangan. Oleh karena itu, ulangan merupakan strategi yang cukup baik untuk memotivasi anak didik agar lebih giat belajar. Namun demikian, ulangan tidak selamanya dapat digunakan sebagai alat motivasi. Ulangan yang guru lakukan setiap hari dengan tak terprogram, hanya karena selera, akan membosankan anak didik.
Oleh karena itu,ulangan akan menjadi alat motivasi bila dilakukan secara akurat dengan teknik dan setrategi yang sestematis dan terencana.
6. Mengatahui Hasil
Mengatahui hasil belajar bisa dijadikan sebagai alat motivasi. Bagi anak didik yang menyadari betapa besarnya sebuah nilai prestasi belajar akan meningkatkan intensitas belajarnya guna mendapatkan prestasi belajar yang melebihi prestasi belajar diketahui sebelumnya. Prestasi belajar yang rendah menjadikan anak didik giat belajar untuk memperbaikinya. Sikap seperti itu bisa terjadi bila anak didik merasa rugi mendapat prestasi belajar yang tidak sesuai dengan harapan.
1. Pujian
Ujian yang diucapkan pada waktu yang tepat dapat dijadikan sebagai alat motivasi. Pujian adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Guru bisa memanfaatkan pujian untuk memuji keberhasilan anak didik dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Pujian diberikan sesuai dengan hasil kerja, bukan dibuat-buat atau bertentangan sama sekali dengan hasil kerjaan anak didik.
1. Hukuman
Meski hukuman sebagai reinforcement yang negatif, tetapi bila dilakukan dengan tepat dan bijak akan merupakan alat motivasi yang baik dan efiktif. Hukuman akan merupakan alat motivasi bila dilakukan dengan pendekatan edukatif, bukan karena dendam. Pedekatan edukatif dimaksud di sini sebagai hukuman yang mendidik dan bertujuan memperbaiki sikap perbuatan anak didik yang dianggap salah. Sehingga dengan hukuman yang diberikan itu anak didik tidak mengulangi kesalahan atau pelanggaran. Minimal mengurangi frekuensi pelanggaran. Akan lebih baik bila anak didik berhenti melakukannya dihari mendatang.
1. Hasrat Untuk Belajar
Hasrat untuk belajar adalah gejala psikologis yang tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan kebutuhan anak didik untuk mengetahui sesuatu dari objek yang akan dipelajarinya. Kebutuhan itulah yang akan menjadi dasar aktivitas anak didik dalam belajar. Tiada kebutuhan berarti tiada ada hasrat untuk belajar. Itu sama saja tidak ada minat untuk belajar.
1. Minat
Minat adalah kecendrungan yang menetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Dengan kata lain, minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat tidak hanya diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan anak didik lebih menyukai sesuatu dari pada yang lainnya, tetapi dapat juga diimplementasikan melalui partisipasi aktif dalam suatu kegiatan. Anak didik yang berminat terhadap sesuatu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sesuatu yang diminat itu dan sama sekali tidak menghiraukan sesuatu yang lain. Minat terhadap sesuatu itu dipelajari dan dapat mempengaruhi belajar selanjutnya serta mempengaruhi penerimaan minat-minat baru. Jadi, minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan cenderung mendukung aktivitas belajar berikutnya.
Minat besar pengaruhnya terhadap aktivitas belajar. Anak didik yang berminat terhadap suatu mata pelajaran akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, karena ada daya tarik baginya. Anak didik mudah menghafal pelajaran yang menarik minatnya. Minat merupakan alat motivasi yang utama yang dapat membangkitkan kegairahan belajar anak didik dalam rentangan waktu tertentu. Oleh karena itu, guru perlu membangkitkan minat anak didik agar pelajaran yang diberikan mudah anak didik pahami.
PENUTUP
Motivasi merupakan keadaan internal organisme yang mendorong untuk berbuat sesuatu. Motivasi dapat dibedakan kedalam motivasi intrinsic dan ekstrinsik. Motivasi intrinsic merupakan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya untuk belajar,misalnya perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut,apakah untuk kehidupannya masa depan siswa yang bersangkutan atau untuk yang lain. motivasi ekstrinsik merupakan keadaan yang dating dari individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah,peraturan atau tata tertib sekolah, keteladanan orangtua, guru merupakan contoh-contoh kongkret motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong siswa untuk belajar.
Kekurangan atau ketiadaan motivasi baik yang intrinsic maupun ektrinsik akan menyebabkan siswa kurang bersemangat untuk melakukan kegiatan belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dampak lanjutnya adalah pencapaian hasil belajar yang kurang memuaskan
Motif atau keinginan untuk berprestasi sangat menentukan prestasi yang dicapainya.dengan demikian,keinginan seseorang atau siswa untuk berhasil dalam belajar juga akan menentukan hasil belajarnya motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai.untuk mencapai suatu tujuan perlu dibuat sesuatu. Yang menyebabkan seseorang berbuat adalah motifnya. Dengan demikian, motif berfungsi sebagai daya penggerak atau pendorong.
Dalam perspektif islam, berkenaan dengan motif belajar atau menuntut ilmu,hendaklah motifnya semata-mata mencari ilmu, bukan mencari pangkat atau pekerjaan. Sebab, apabila motifnya mencari ilmu, pangkat, dan pekerjaan akan mengiringinya, tetapi apabila motifnya mencari pangkat atau pekerjaan, ilmu belum tentu diperoleh dan pekerjaan pun belum tentu didapat.itulah tujuan belajar atau menuntut ilmu secara ideal didalam perspektif islam.
Perhatian, minat, bakat,dan motif atau motivasi siswa terhadap bahan pelajaran akan membentuk sikapnya dalam belajar. Oleh karena itu, sikap juga mempengaruhi belajar atau hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri., Psikologi Belajar. Cet I. Jakarta: Rineka Cipta. 2002
A. M. Sardiman., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Cet V. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994
Psikologi Pembrlajaran Pendidikan Agama Islam. Hal. 122

PENGALAMAN PEMBELAJARAN DAN REALITAS

PENDAHULUAN

Adalah sebuah keniscayaan bila pendidikan yang baik menjamin tumbuhnya negara yang baik. Karena hakikat manusia terletak pada pendidikan. Menjadi kejanggalan apabila kita ingin membangun negara ini sonder pendidikan.
Tentu bukan sekedar pendidikan asal-asalan, apalagi pendidikan hipokrit. Namun pendidikan yang menyentuh segenap aspek hidup manusia. Aspek hidup yang kompleks dan sarat makna karena memang manusia adalah makhluk yang kompleks dan paripurna. Menjadi pincang apabila kita hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lain.
Bangunan pendidikan yang kokoh haruslah dimulai dari dasar yang kokoh. Terpancang tiang-tiang moral yang menjulang namun mengakar. Berdinding budaya, berpintu pengetahuan, berjendela toleransi dan beratap kearifan.
Bangunan pendidikan yang dimaksud disesuaikan dengan tanggung jawab yang kita emban. Mungkin bangunan pendidikan tersebut berupa negara dan birokrasinya, sekolah/pesantren, kursus dan lembaga informal lainnya, atau bahkan rumah tangga kita dan individu pribadi kita. Seberapaun besar atau kecilnya tanggung jawab kita, bukanlah ukuran kemuliaan. Namun seberapa kokoh dan baik bangunan tersebut yang menjadi tolok ukur.
Kadang kita terjebak pada nilai pragmatis, materialis hedonis dan budaya instan. Sehingga terkesan pendidikan hanya sebuah ritual rutin dengan tujuan lembar ijazah atau serentetan gelar. Maka jangan heran bila pendidikan yang sebagai ujung tombak mencerdaskan bangsa terasa kehilangan greget. Sehingga tidak salah bila Emha Ainun Nadjib (1997: 300) menyatakan :
"Dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang inheren dari mekanisme politik, birokrasi, dan mobilisasi. Bersekolah bukanlah mencari ilmu (sekedar menghapalkan pengetahuan tertentu), bukanlah mengolah kreativitas (bahkan guru acapkali merupakan agen dekreativitas), dan bukan pula menggali dan mengembangkan kepribadian (bersekolah ialah penyeragaman atau penghapusan unikum manusia)".
Mungkin diantara kita tidak seratus persen setuju terhadap pernyataan budayawan di atas namun juga tidak bisa menafikan bahwa dunia pendidikan kita berada pada kondisi yang membingungkan. Coba kita cermati pula uraian Umar Kayam (1992:30) berikut ini:
"Tetapi, sekolah bagi kami anak desa merupakan kandang-kandang yang tersekat-sekat dengan penggembala yang galak yang disebut guru. Kebanyakan dari kami tidak tahan dan tidak krasan di sekolah. Kami merindukan sawah, lapangan permainan kami, kerbau dan sapi kami, pohon-pohon mangga yang kami lempari dengan batu, burung-burung yang kami plintengi, kami ketapel, kemudian ramai-ramai kami kroyok, kami bakar dalam onggokan daun-daun kering. Lagi pula orang tua kami kebanyakan juga tidak tahan kehilangan kami lama-lama di sekolah. Mereka membutuhkan kehadiran kami di rumah dan di sawah untuk membantu mereka. Agaknya orang tua saya adalah satu perkecualian. Mereka ingin betul saya tetap sekolah. Setiap kali saya menyatakan keinginan saya untuk keluar sekolah karena tidak krasan, karena kangen main di sawah, Bapak akan tidak segan-segan mengambil cemeti, memukuli saya."
Paparan Umar Kayam terasa lebih menukik pada ujung tombak pendidikan yakni sekolah. Memang pada tataran inilah realita pendidikan terbentuk dalam wujud nyata. Terlihat bagaimana umar kayam mengkritisi sekolah dengan gaya khasnya sebagai budayawan. Pemaparan yang lugas dengan realita yang tersusun dalam untaian kalimat akrab namun indah menyiratkan bagaimana seoarang tercerabut dari kehidupannya ketika ia disekolahkan.
Tercerabut dalam arti seorang anak mengalami suasana yang benar-benar beda dengan lingkungan kehidupan rumahnya atau bahkan ia kebingungan menyerap materi pelajaran yang terasa aneh ditelinga. Terasa dibenaknya sekolah bagaikan dinding penjara yang mengungkungnya dengan dalih jaminan masa depan. Ini terlihat bagaimana siswa girang-gemirang saat bel pulang tiba. Sementara di sisi lain pelajaran yang ia terima lewat begitu saja ditelinga karena pembelajaran yang menjemukan alias verbalistik semata.
Mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya seperti yang dinyatakan United Nations (dalam Borton E. Swanson, 1984: 17) Sehubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan pemuda di pedesaan, mengemukakan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut: (1) pada usia muda mereka sudah menjadi tenaga kerja keluarga atau bekerja pada orang lain; (2) waktu musim tanam atau panen, mereka bekerja melebihi jam kerja normal; (3) umumnya mereka menganggur pada pasca panen; (4) untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka wajib kerja mencari upah; (5) mereka berkeluarga/kawin pada usia muda; (6) mereka tidak ingin berbaur dengan teman sebaya yang melek huruf, meskipun usia mereka sama; (7) merasa takut terhadap situasi belajar mengajar yang sifatnya formal; (8) mereka meninggalkan desa untuk menghindari lapangan kerja pertanian dan (9) mereka dihadapkan dengan lahan pertanian sempit yang mereka anggap akan membuat mereka tetap miskin.

A. Pertentangan Filosofis Dan Pragmatis
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional terdapat pada pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaska kehidupan bangsa,, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.
Fungsi dan tujuan luhur yang tertulis tersebut menjadi lampu menara mercusuar dari perahu lembaga-lembaga pendidikan yang bermuatan awak perahu (baca: pemerintah, orang tua dan masyarakat) dan penumpangnya (baca: siswa) dengan beragam karakter dan latar belakangnya, lampu menara mercusuar tersebut haruslah benar-benar diperhatikan oleh awak perahu agar arah dan tujuan berlayarnya perahu tidak menyimpang yang mungkin menyebabkan tertabraknya pada batu karang drop out atau bahkan salah asuhan.
Secara filosofis sebagaimana tertera di atas, pendidikan mempunyai multi dimensi luhur dari segenap apek hidup manusia. Hal ini wajar karena memang pendidikan harus memanusiakan manusia sehingga tidak ter-kooptasi kemanusiaannya.
Dari sisi realitas, lembaga-lembaga pendidikan banyak yang terjebak pada komersialisasi pendidikan. Dalih bahwa tingginya mutu sebanding dengan tingginya biaya pendidikan menjadi alasan pengelola pendidikan tertentu untuk membenarkan perilaku bisnis di dunia pendidikan. Naif sekali ketika kita mencermati perilaku sebagian pengelola pendidikan yang menawarkan harga tertentu untuk masuk ke suatu lembaga pendidikan. Bahkan fenomena ini bisa kita lihat di Perguruan Tinggi baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tanpa segan-segan mereka menetapkan sejumlah harga rupiah tertentu sebagai syarat mengikuti seleksi atau sebagai konsekuensi bila diterima. Dalihnya memang beragam semisal peningkatan mutu pendidikan, perbaikan sarana-prasarana, dan alasan-alasan lainnya.
Mempermasalahkan biaya pendidikan, rasanya kita patut iri pada sebuah negeri kecil yang berada di ujung selatan bumi, yakni Selandia Baru. Konon di sana biaya pendidikan gratis bagi anak negeri yang ingin memperdalam ilmunya. Akankah negeri ini, yang berjargon “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” dengan sumber daya alam yang sangat melimpah sehingga lautannyapun semacam “kolam susu” dan kesuburannyapun tak tertandingi sehingga “tongkat kayu ditancap jadi tanaman”, Tidakkah bisa memberikan peluang seluas-luasnya (baca: tanpa takut tidak bisa bayar) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat manapun. Memang ironi bila kita akan mengalami nasib kelaparan dilumbung padi, hanya karena pintu lumbungnya terkunci yang hanya bisa dibuka bila kita bayar.
Ada sebuah cerita dari seorang guru setengah baya yang mempunyai putera sekolah di SMA kelas XI. Dalam sebuah kesempatan dia mengatakan secara panjang lebar yang ringkasnya seperti ini:
“Bisakah anak saya menjadi dokter, ya? Soalnya anak saya sangat bercita-cita jadi dokter. Sementara ini pelajaran di sekolahnya bagus. Namun yang saya kuatirkan adalah saya. Bisakah saya membiayai mencapai cita-citanya. Dengar-dengar biaya awal masuknya saja sekitar delapan puluh juta atau bahkan bisa lebih. Padahal saya hanyalah seorang guru tanpa penghasilan lainnya. Rasanya saya tak mampu menyediakan uang sebesar itu”
Terasa sekali kegalauan mendalam dari seorang praktisi pendidikan terhadap pendidikan anaknya sendiri. Tidakkah ini pertentangan diametral? Bagaimana seorang praktisi pendidikan yang berjuang mendidik tunas bangsa, tanpa daya memikirkan pendidikan anaknya sendiri. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi perbedaan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih mencolok antara si kaya dan si miskin. Bukankah ini pertentangan diametral dengan amanah Undang-Undang Dasar kita bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan.
Namun kita tidak serta merta menafikan kinerja seluruh lembaga pendidikan di Republik ini. Alhamdulillah masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mempunyai hati nurani yang memberi kesempatan yang sama pada setiap calon peserta didiknya. Ambil contoh pondok pesantren. Lembaga yang satu ini, meski dalam beberapa dekade terabaikan oleh pemerintah dari segi bantuan dana maupun manajerialnya karena dianmggap sebagai lembaga pendidikan non formal, ternyata menampilkan kemandirian yang luar biasa. Pada beberapa dekade yang lalu (tepatnya semasa Orde Baru) terasa sekali pondok pesantren “dibiarkan” menjalankan aktifitasnya dengan kemampuan sendiri. Ternyata keadaan ini justru menjadikan pondok pesantren lebih eksis dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi situasi yang paling sulit semisal saat krisis moneter melanda Negara kita.
Hal lain yang merupakan angin segar dalam dunia pendidikan adalah digulirkannya dana BOS (Bantuuan Operasional Sekolah). Sungguh hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat (terutama dari strata ekonomi lemah) sebagai kebijakan pemerintah yang sangat mengurangi beban hidupnya. Walaupun program BOS ini hanya menjangkau pada pendidikan dasar (setingkat SD dan SMP) hal ini sudah cukup membantu, walau mungkin di tahun-tahun mendatang program dana BOS diharapkan bisa juga diterapkan di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

B. Pertentangan Materi Pelajaran Dan Realitasnya
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa pertentangan diametral yang terdapat pada beberapa materi pelajaran dengan realitas lingkungan sehari-hari yang dialami oleh siswa. Berikut ini contoh pertentangan diametral tersebut:
1. Perilaku merokok. Merokok secara teori ilmu kedokteran merugikan kesehatan. Mulai SD hingga SMA materi ini telah disampaikan pada siswa tentunya perbedaannya hanya pada tingkat kedalaman pembahasannya saja. Secara ilmiahpun sangat meyakinkan dan didukung oleh data-data mutakhir hasil eksperimen maupun hasil studi kasus menunjukkan bahwa merokok sangat merugikan kesehatan. Beragam penyakit dapat ditimbulkan oleh perilaku merokok ini mulai dari gangguan paru-paru, jantung, kanker, impotensi dan sebagainya. Intinya, secara teoritis tidak ada referensi yang mendukung perilaku merokok kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia.
Namun realitasnya, merokok sudah merupakan hal yang lumrah di masyarakat bahkan sudah menjadi budaya. Cermati saja fenomena ini. Bagaimana bisa berhasil secara memuaskan seorang guru IPA atau Penjaskes yang menerangkan bahaya merokok sementara di lingkungan sehari-hari siswa terpampang lebar poster, panduk atau apapun yang merupakan media promosi rokok. Dunia pertelevisian memang sudah memberlakuan iklan pariwara rokok hanya disiarkan jam 22.00 ke atas, tapi di lingkuangan sehari-hari berbicara lain. Berbagai media promosi bertebaran di hadapan siswa mulai berupa spanduk, poster baik kecil maupun besar dengan kalimat bombastisnya, penyelenggaraan even-even hiburan yang disponsori produsen rokok hingga budaya merokok yang sangat kental di lingkungan orang dewasa.
Tidakkah ini pertentangan diametral? Satu sisi siswa dipaksa menerima teori bahwa merokok merugikan kesehatan tapi pada sisi yang lain lingkungan justru “sangat menganjurkan” merokok.
Dengan kondisi secam ini, kita tidak bisa menyalahkan seratus persen pada seorang siswa yang kedapatan merokok. Hal ini adalah dampak lingkungan seperti yang dipaparkan di atas. Dalam benak seorang anak akan timbul tanda tanya besar bila terjadi perbedaan antara apa yang ia terima di sekolah dengan di lingkungan. Keadaan ini mendorong anak untuk mencoba yang nadirnya merokok mempunyai efek kecanduan (walaupun tidak separah NARKOBA) sehingga menyebabkan kesulitan untuk berhenti merokok.
Pertentangan ini sungguh sangat jelas, lebih-lebih bila kita baca tulisan di bagian belakang bungkus rokok: “Peringatan Pemerintah: merokok dapat menyebabkan gangguan jantung …..”. dilain pihak terdapat pita cukai yang menandakan bahwa sebagian keuntungan rokok masuk ke kas Negara. Inilah kebijakan setengah-setengah, ambivalen. Satu sisi ingin rakyatnya sehat namun sisi lain pemerintah tetap menginginkan keuntungan dari rokok.
2. Pertentangan dalam mata pelajaran keagamaan. Dalam permasalahan ini, sungguh banyak pertentangan yang dapat kita temukan. Jelas akarnya adalah budaya hedonis materialis yang tengah melanda dunia ini secara keseluruhan termasuk juga di Indonesia. Yang akan dipaparkan berikut bukanlah dari filosofinya karena sebenarnya telah disinggung di muka. Kita coba menelaah dari sisi praktis nilai-nilai keagamaan kita khususnya Islam sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di negeri ini.
Contoh pertama mengenai Sholat. Kita pasti sepakat bahwa kita semua tahu bahwa sholat adalah wajib hukumnya bagi seluruh muslim yang akil baligh. Tidak ada satu ulamapun yang menghukumi sholat tidak wajib. Semua secara aklamasi setuju mengenai kewajiban sholat lima waktu. Kitapun telah menerima dari guru-guru kita mengenai keutamaan, manfaat dan pahala sholat yang luar biasa sementara kita juga tahu betapa besar ancaman Allah jika kita meninggalkan sholat lima waktu dengan sengaja.
Tapi ironisnya bagi siswa ialah bila dilaksanakan kegiatan yang memakan waktu sholat. Betapa entengnya satu “kompi” siswa yang mungkin plus guru pembinanya ramai-ramai tidak sholat. Contoh kegiatan semacam ini yang terjadi di tataran lokal Sumenep antara lain seperti Prosesi Arya Wiraraja pada saat peringatan hari jadi kota Sumenep, lomba hias sepeda, pawai budaya dan bahkan kegiatan penyambutan pejabat saat MTQ Jawa Timur dilaksanakan di Sumenep.
Dalam kegiatan-kegiatan yang disebut di atas, hampir bisa dipastikan sebagian besar siswa yang terlibat tidak dapat melaksanakan sholat asar atau bahkan ada yang tidak sholat dhuhur. Secara jadwal memang panitia mengatur waktunya memungkinkan untuk sholat yakni dimulai sekitar jam 14.00 dan diperkirakan selesai sebelum magrib. Dengan asumsi ini panitia pasti akan mengatakan masih ada waktu untuk sholat. Kenyataan di lapangan lain. Pada kegiatan-kegiatan semacam ini sangat mungkin terjadi waktu molor. Sehingga pada kegiatan ini bisa-bisa pada waktu magrib siswa masih belum selesai berbenah. Lalu sholat Asarnya.
Betapa masygulnya hati seorang guru agama Islam bila mendapati kenyataan seperti ini. Materi tentang sholat yang telah diberikan ternyata dengan ringannya ditinggalkan siswanya demi kegiatan ini. Padahal sholat adalah tiang agama. Jika ini tidak disikapi, maukah kita menerima kenyataan generasi yang akan datang yang berasal dari siswa-siswa sekarang merupakan generasi yang meninggalkan sholat? Na’udzubillah.
Contoh kedua dalam masalah materi keagamaan ialah mengenai cara berpakaian. Islam mengajarkan bahwa aurat wanita yang harus ditutupi pakaian adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Islam, sebagai agama luhur yang mengedepankan akhlak, ingin menempatkan wanita sebagai makhluk terhormat yang patut dihormati. Namun yang terjadi di lingkungan masyarakat bukan hanya tidak menutupi aurat, tapi kadang bisa sampai mengundang syahwat. Semisal pakaian yang super minim, super ketat atau transparan. Tentu dengan alasan mode terkini, biar tampak cantik, tidak kuper dan semacamnya.
Tentu hal ini ada penyebabnya. Salah satunya ialah pengidolaan yang salah terhadap artis yang notabene cara berpakaiannya “sembarangan”. Asal sama dengan artis pujaannya, seorang anak kadang tidak mempedulikan lagi nilai-nilai agamanya. Hal ini diperparah dengan tayangan-tayangan televisi yang banyak menampilkan hiburan/infotainment yang mengeksploitasi artis dan kehidupannya.
Diantara kita mungkin menyikapi masalah ini dengan pernyataan bahwa masalah ini adalah urusan pribadi, kalaupun tergolong dosa, ya … mungkin termasuk dosa kecil. Terhadap pernyataan semacam ini, kita perlu mengingatkan bahwa masalah pakaian adalah masalah sosial karena dari sana kita dapat melihat kepribadian seseorang dan statusnya dalam masyarakat. Mengenai masalah dosa, perlu dicamkan fatwa ulama bahwa tidak ada dosa kecil di hadapan Allah bila dilakukan secara terus-menerus dan berbangga ria dan tidak ada dosa besar dihadapan Allah jika kita mau melakukan Taubatan Nashuha.
Masih banyak lagi sebenarnya permasalahan-permasalahan praktis materi pelajaran keagamaan yang bertentangan dengan realita kehidupan sehari-hari semisal pola pergaulan muda-mudi sekarang dengan berbagai pernak-perniknya.
3. Pertentangan dalam hal materi pelajaran mengenai asal-usul manusia menurut teori Darwin. Darwin dengan teori evolusinya menegaskan bahwa makhluk hidup mengalami evolusi yang artinya mengalami perubahan secara perlahan-lahan dalam waktu yang sangat lama. Ia mengemukakan teorinya dengan prinsip-prinsip tertentu dan bukti-bukti yang ia paparkan untuk mendukung teorinya tersebut. Yang menarik adalah implikasi dari teori tersebut bahwa pada awalnya semua makhluk hidup yang ada di dunia ini baik yang masih hidup maupun yang sudah punah, menurut teori evolusi berasal dari satu nenek moyang yang sama. Artinya ada satu organisme atau serupa organisme sederhana pertama yang merupakan hasil reaksi dari gas-gas metana, air, udara dan sinar kosmis yang terjadi bermilyar tahun yang lalu. Kemudian organisme pertama ini mengalami evolusi berkembang menjadi berbagai makhluk hidup di dunia ini.
Permasalahan muncul ketika kita bertanya apakah manusia juga berasal dari makhluk pertama tersebut? Jika benar, maka Nabi Adam (manusia pertama menurut agama Islam) tidak diciptakan secara langsung oleh Allah melainkan merupakan hasil evolusi dari organisme nenek moyang?
Disinilah letak pertentangannya. Bisakah kita menerima dalil-dalil Qath’i dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan Nabi Adam Sebagai manusia dan Nabi pertama tanpa keraguan sedikitpun. Pilar-pilar keimanan kita dan anak didik kita dipertaruhkan. Nabi Adam dalam Islam bukan hanya sekedar pertama, tapi juga sekaligus Nabiullah pertama. Dengan demikian masuk ke dalam ruang lingkup pokok-pokok keimanan yakni rukun iman yang ke-empat.
Marilah kita berpikir dengan jernih disertai dengan mata hati yang bening. Telaah permasalahan ini baik-baik. Hal ini merupakan pertentangan besar yang bisa mengelincirkan kita atau siswa kita. Sekali lagi, hal ini merupakan ujian aqidah keberagamaan kita.

PENUTUP
Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang bersifat pertentangan diametral meski derajatnya tidak se-urgen yang dipaparkan di atas. Permasalahan-permasalahan ini haruslah benar-benar disikapi secara bijak oleh segenap pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan baik di sekolah maupun lembaga-lembaga birokrasinya. Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada usaha penanganan yang kongkrit dan terencana, kita kuatir akan semakin “membingungkan” siswa-siswa kita yang pada gilirannya akan melahirkan generasi bermental ambigu, hipokrit atau mungkin spilit personality.


Daftar Pustaka

Adhim, Mohammad Fauzil. 1997.“Mengajar Anak Anda Mengenal Allah Melalui Membaca” Bandung : Al- Bayan.
Agustian, Ari Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Wijaya Persada
Coles, Robert. 2003. Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gray, John. 2000. Children are from Heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Temprint.
Nadjib, Emha Ainun. 1997. Surat Kepada Kanjeng Nabi, Bandung: Mizan
Syahatah, Husein. 2004. Kiat Islami Meraih Prestasi. Jakarta: Gema Insani Press.