ISLAM DAN NEGARA, TRANSFORMASI PEMIKIRAN DAN PRAKTEK POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Pemikiran Bahtiar Effendy
Oleh : Drs. KH. MU’IN ABDURROHIM, M.Pd.I
A. LATAR BELAKANG
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak Pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.\
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi.
Dalam buku Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Di Indonesia” karangan Bahtiar Effendy, penulis terilham dengan fenomena yang terjadi di negara–negara Muslim pasca kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, seperti Turky, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia.dan Al-jazair mereka kesulitan dalam mengembangkan sintesis yang memungkinkan praktek dan politik Islam dengan negara di daerahnya masing-masing.
Persoalan yang terjadi dinegara-negara muslim tersebut, hubungan politik Islam dan negara ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang sangat mencolok, bahkan sampai pada permusuhan. Sedangkan penduduk di wilayah tersebut sangat dominan oleh orang-orang Islam, dikarenakan sebagian besar agama yang dianut adalah Islam. Yang jadi pertanyaan, apakah sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana gagasan negara-bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya.
Di Indonesia, dalam hubungan Islam politik dengan negara sudah lama terjadi sampai kepada titik kebuntuan. Baik masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto yang memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis.
Dalam buku ini, Bahtiar Effendy mencoba mengali faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perdebatan yang akut dalam proses berdirinya bangsa Kesatuan Indonesia, sampai menemukan titik kebuntuan, bahkan permusuhan. Bahtiar Effendy juga melihat dari berbagai unsur Islam politik secara holistik (simbiosis mutualis) tidak monolitik (Syariah), interior dan eksterior Islam dalam perspektif sejarah Islam politik versus negara, maupun Islam politik dalam delektika praktis kekinian.
Pendekatan yang di gunakan oleh Bahtiar Effendy, Dalam buku Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, karya Bahtiar Effendy ini, mengunakan beberapa pendekatan:
Pertama; dekonfessionalisasi. Pendekatan ini lebih dahulu di kembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijize. Dalam dua artikelnya yang ditulis pada akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an. Nieuwenhuijize mencoba mengjelasakan hubungan politik antara Islam dan negara nasionalis modern; terutama peran Islam dalam revolusi nasional dan proses pembangunan bangsa dalam kerangka dekonfessionalisasi. Paling menarik dalam pendekatan ini adalah, Nieuwenhuijize memandang peran Islam dalam pandangan pribumi adalah sebagai instumen dalam perlawanan melawan kolonial Belanda.
Kedua; pendekatan domestikasi Islam, Bahtiar Effendy mengunakan teori Harry J. Benda mengenai Islam Indonesia. Dalam teori ini, Harry J. Benda menganalisa historis mengenai Islam di Jawa pada abad 16 hingan abad ke 18, terutaman perebutan kekuasaan antara kerajaan-kerajaan Islam yang taat di pesisir Jawa, yang diwakili kerajaan Demak terkenal ortodok, yang melawan kerajaan mataram yang terkenal sinkretis diwilayah pedalaman.
Ketiga; Pendekatan Skismatik dan Aliran. Dalam Pendekatan ini, Bahtiar Effendy ingin mencoba mengelompokan pemeluk Islam Indonesia yang bercorak skismatik dalam hubungan Islam Jawa-isme dengan Islamis, yang kemudian memasuki dibidang politik, kebudayaan dan sosial. Bahtiar Effendy mengidentifikasi seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz (religion of java) mengembangkan skisme sosial keagamaan kedalam pengelompokan aliran sosio-kultural dan politik.
Keempat; Pendekatan Trikotomi. Dalam pendekatan ini Bahtiar Effendy mengelompokan antara beberapa persoalan, yaitu Islam ortodok (santri), Islam singkretis (abang), dan negara Islam (power political). Tiga persoalan ini yang kemudian menglahirkan pendekatan trikotomi dalam politik Islam Indonesia yaitu fundamentalis, reformis, dan akomodasionis. Kelompok fundamentalis mendukung jenis penafsiran Islam yang kaku dan murni (tidak fleksibelity), menentang pemikiran sekuler dan pengaruh Barat, dan singkretisme kepercayaan tradisonal, menekankan keutamaan agama atas politik. Sedangkan akomodasionis memberikan penghargaan yang tinggi kepada kerangka persatuan yang diberikan Islam, tetapi mereka berpegang kepada kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi harus mendapat prioritas utama oleh organisasi-organisasi Islam. Bahtiar Effendy.
Kelima; Islam kultural. Teori ii dikembangkan oleh Donald K. Emmerson, teori ini mencoba mengkaitkan kembali doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan Negara. Emmerson melihat sepanjang 1980-an, diskursus Islam di Indonesia yang tegah menegaskan dimensi Islam kultural, menurtut Emmerson demensinya sama sekali non politis, akibatnya penegasan kemabali dimensi kultural di Indonesia benar-benar hidup dan berkembang dengan baik. Sebagai contoh Islam masa Orde Baru cendrung kesolehan religius dipandang kokoh untuk dalam mempertahankan eksistensi Orba yang anti komunis. Dalam hal ini bobot Islam kultural lebih besar dan juga dapat mempengaruhi pemerintahan untuk meneawarkan sejumlah konsesi kepada umat Islam.
B. ISLAM DAN NEGARA; TRANSFORMASI PEMIKIRAN DAN PRAKTEK POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Dinamika politik Indonesia tidak bisa lepas dari berbagai unsur-unsur ideologi keagamaan yang sangat kental dan organisasi massa bermuatan politis dalam mendiri bangsa Indonesia.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini.
Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Islam dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999. Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini. Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hingga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang. Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan, dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an. Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila. Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk. Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler. Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Islambagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Islam dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo. Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa. Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi. Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang.
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini. Berawal dari perdebatan yang terjadi dalam proses politik ideologi bangsa Indonesia, apakah Pancasila atau Ideologi Islam. Hal ini terjadi menjelang terbentuknya BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia. Perdebatan hangat itu adalah membawahi tema-tema dasar ideologi negara Indonesia, saat itu di pelopori oleh Abdul Kahar Muzakar, Abikusno Tjokrosujoso, dan A. Wahid Hasyim, dengan alasan bahwa Islam sudah mengakar di bumi Indonesia, maka negara harus di dasari Islam.
Setelah perdebatan hangat antara kaum nasionalis dan Islamis, kaum muslim Indonesia melakukan pertemuan kembali dan mulai memikirkan kembali alasan tersebut. Disini mulai terjadi perdebatan akut, antara elit politik Islam sendiri. Diantara mereka ada yang menginginkan Syariah Islam seutuhnya (ortodok), tapi ada yang menerima Islam sebagai landasan morolitas keagamaan saja yaitu Islam itu sendiri, tanpa harus mendirikan Islam sebagai negara maupun ideologi bangsa (singkritisme).
Pada dataran kaum elite muslim yang menginginkan ideologi Islam yaitu berdirinya tegaknya syari’at Islam sebagai landasan negara Indonesia, sedangkan dari pihak nasionalis bahwa ideologi Islam tidak bisa di implementasikan, dikarenakan indonesia bukan sebuah negara Islam. Akhirnya munculah sebuah kesepakatan, sebagai jalan tengah yang diambil, lahirlah Piagam Jakarta hasil dari rumusan PPKI.
Dalam perjalannya, Piagam Jakarta tidak bertahan lama, keleompok Islam melalui dalan dialog yang demokratis dalam konstistuante berakhir dengan kembali UUD 1945, yang ditetapkan oleh Pemerintahan Soekarno pada 19 Februari 1959, sedangakn dataran elite politik muslim mengusulan bahwa, Piagam Jakarta dimasukan secara resmi kedalam UUD 1945, baik itu pembukan maupun batang tubuhnya sebagai hukum dasar, tetapi tuntutan itu ditolak oleh sebagian orang dalam konstistuante yang menyebabkan Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara resmikan bubarnya konstistuante dan menyatakan kembali kepada UUD 1945.
Awal dari sinilah terjadi perdebatan diantara elite muslim antara pro dan kontra yang bergelut dalam satu tubuh organisasi yaitu MASYUMI, seperti Syarifuddin, Muhammad Natsir, Baharuddin Harahab, dan Prawiranegara yang menginginkan konfrontasi kemiliteran untuk mengikut jejak Kartosoewirjo. Salah satu yang diingikan oleh sebagian elite Muslim pada waktu itu adalah menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam yaitu seperti Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah “Rumah Islam” adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits”. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syari’at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”, sesuai dalam Qur’aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50, artinya “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
C. P ENUTUP
Bahtiar Effendy, adalah Wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia). Dia seorang juga seorang pengajar Pasca Sarjana UIN Jakarta, dan Universitas Indonesia.
Pendidikan akademis Bahtiar Effendy, pada tahun 1976-1979 mendapatkan beasiswa American Field Service (AFS), belajar di Colombia Falls High School, Fak. Ushuluddin IAIN Jakarta, dan selesai pada 1985. Tahun 1986-1988 melanjutkan ke Ohio University, Athens, Ohio, AS pada program Asia Tenggara. Dan memperoleh gelar sederajat S3 di Ohio State University, Colombia, Ohio AS dalam bidang studi ilmu politik.
Bicara politik, Bahtiar Effendy, tidak diragukan lagi, ini terlihat ketika buku yang saya resensi ini yaitu, “Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, menunjukan bahwa beliau seorang yang memiliki kapasitas dibidangnya. Bagaimana Bahtiar Effendy melihat sosio-politik Islam secara holistik, dan menghindarkan pada pandangan-pandangan monolok, Bahtiar Effendy mencoba memandang Islam secara multiinterpretatif yang membuka penafsiran mengenainya (a Polyinterpretable religion).
Menurut saya, buku karya Bahtiar Effendy, memperlihatkan Islam Indonesia besar gaungnya untuk saat ini (bargaining position), dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok dalam menafsirkan persoalan Islam atas Negara/kekuasaan. Sebagian umat Islam mengatakan bahwa, Islam sangat komprehensif, otentik, oragnik, dan menyediakan segala kebutuhan umat, termasuk tatabernegara Islam atas negara (power political of Islamic), tetapi sebagian yang lain bahwa Islam harus sejalan dengan apa yang sudah dibentuk oleh pandahulu-pendahulu sebelumnya.
Buku karangan Bahtiar Effendy seharusnya layak untuk di baca dan diskusikan dari berbagai golongan, baik itu para akademisi, politikus, Sosiolog, dan Sejarahwan. Saya melihat seorang Bahtiar Effendy mampu menjelaskan secara mendeteil dan sistematis tetang pergolakan yang terjadi Islam dan Negara, antara aktor elite Islam dengan pendukung nasionalis, relasi politik kerajaan Islam dengan ortodok dengan kerajaan Islam yang singkretisme, dalam proses mewujudkan Islam sebagai asas tunggal maupun mendidirkan Darul Islam Indonesia di bumi nusantara Indonesia ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
A. LATAR BELAKANG 1
B. ISLAM DAN NEGARA; TRANSFORMASI PEMIKIRAN DAN PRAKTEK POLITIK ISLAM DI INDONESIA 3
C. PENUTUP 7
ISLAM DAN NEGARA ISLAM
Oleh : Drs. MU’IN ABDURROHIM, M.Pd.I
Negara Islam adalah negara yang menjadikan syariat Islam atau Quran sebagai dasar negara, konstitusi dan segala perundang-undangannya. Beberapa penerapan konstitusi Islam antara lain; hukum ranjam atau cambuk bagi para pezina dan pemerkosa,
hukuman potong tangan bagi para pencuri dan koruptor, hukum khisos, hukuman mati bagi para pembunuh (nyawa dibayar dengan nyawa).
Konsekuensi lain dari negara Islam adalah dihapusnya hiburan atau kehidupan malam, pub/bar/nightclub/diskotik, beserta ekses-ekses haram-nya seperti; miras, narkoba, judi, pelacuran dan lain sebagainya. Contoh negara Islam adalah Arab Saudi, Iran, Afganistan, Pakistan, Somalia, dan Yaman.
Pakistan tidak diragukan lagi kesetiaannya terhadap dunia Islam dan saudara Islam. Perannya dalam membantu perjuangan pembebasan Kashmir dan pengiriman mujahidin beserta amunisi ke Afghanistan bukti nyata Pakistan sebagai kekuatan Islam di Asia Selatan yang patut diperhitungkan. Namun di dalam negeri, negara Islam yang pertama kali menguasai teknologi senjata nuklir ini, masih dipertanyakan keislamannya, sebab berbagai gaya hidup liberal ala Barat seperti; hura-hura, dansa-dansa dan mengkonsumsi minuman beralkohol masih mudah dijumpai di sana. Selain bahwa pemimpin negara harus orang Islam, hukum Islam tidak sepenuhnya diterapkan dalam negara yang bernama resmi Republik Islam Pakistan ini.
Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia adalah negara yang paling menonjol langgam Islamnya. Malaysia bukan negara Islam namun menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama resmi negara. Apabila ditakar dengan syariat Islam yang sesungguhnya ternyata penerapan hukum Islam di negeri jiran ini juga terlihat setengah-setengah atau tidak konsisten. Malaysia menerapkan sistem hukum ganda dengan memisah antara hukum sekuler dengan hukum sharia. Hukum shariapun hanya terbatas pada perkara nikah/cerai, waris dan pelanggaran agama yang diberlakukan khusus bagi warganegara pemeluk agama Islam. Sedang pelanggaran yang sama, minum alkohol misalnya, tidak dikenakan sangsi pada warga non-Muslim. Sistem ini sebenarnya tidak beda jauh dengan Indonesia yang memisahkan antara pengadilan umum dengan pengadilan Agama. Alhasil, Arab Saudi-lah satu-satunya negara Islam di dunia yang benar-benar berasaskan Al-Quran dan menerapkan syariat Islam dalam hukum tata negaranya.
Indonesia adalah b-u-k-a-n negara Islam namun juga tidak mau disebut sebagai negara sekuler. Negara hanya memfasilitasi umat beragama namun tidak turut campur dalam kehidupan beragama masyarakat. Dalam ketatanegaraan Indonesia masalah agama dan ibadah hanya tercantum dalam sila ke-1 Pancasila dan pasal 29 UUD 1945. Usaha memasukkan nilai-nilai Islam dalam dasar negara dan konstitusi sebenarnya telah dicoba dan diperdebatkan oleh para “founding father”. Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak berubah meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Ini menunjukkan betapa lemahnya daya tawar umat Islam / negarawan Islam dalam kancah perpolitikan nasional. Atau juga bisa diartikan betapa Muslim pendiri dan pengelola negara ini begitu toleran dan menghargai terhadap keberagaman masyarakat negeri ini.
Faham negara Islam yang mengemuka belakangan ini sebenarnya adalah tuntutan logis akibat semakin merajalelanya kerusakan moral dan berbagai ketidakadilan serta ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini. Fakta membuktikan bahwa hanya umat Islam yang beriman, yang peduli terhadap lingkungan bersih dari berbagai kemaksiatan seperti; perjudian, minuman keras, prostitusi/perzinaan, narkoba dan berbagai ke-haram-an lainnya. Umat Islam tidak bisa mengandalkan penegakan moral pada aparat atau pejabat yang bodoh / jahiliyah, tidak faham ilmu agama, serta tidak beriman pada Allah dan hari pembalasan.
Belajar dari berbagai negara Islam yang ada di dunia, tanpa didukung infrastruktur masyarakat yang Islami, cita-cita negara Islam hanya menjadi mimpi indah yang berbuah konflik mengerikan tanpa kesudahan. Atau dengan kata lain tanpa dilandasi masyarakat yang faham ilmu agama dan fakih beribadah, Negara Islam hanya akan tinggal nama, bendera dan simbol saja. Sehingga, perjuangan dakwah, shiar Islam, amar ma’ruf nahi munkar melalui penyebaran ilmu Quran dan Hadist sebagai pedoman utama Umat Islam, jauh lebih berarti, lebih mudah dan lebih efektif dalam membangun masyarakat religius, Islami dan beriman, insyaAllah.
Perjuangan politik membentuk negara Islam merupakan usaha sia-sia yang hanya akan membuang waktu dan energi umat Islam karena harus berbenturan dengan aparat dan perundang-undangan yang telah disepakati segenap komponen bangsa. Dengan demikian akan mudah dijawab, manakah yang lebih utama: memperjuangkan pembentukan negara Islam atau berdakwah menanamkan sharia Islam dalam kehidupan masyarakat?
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Dan jadilah di antara kamu sekalian umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. [Surat Ali Imron 104]
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ… العية
Artinya: “Bukanlah اhakmu memberi petunjuk pada mereka, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya…” [Surat al-Bakarah ayat 272]
ISLAM DAN NEGARA TAK BISA DIPISAHKAN
Oleh :
Drs. KH. MU’IN ABDURROHIM, M.Pd.I
A. Latar Belakang
Apakah benar Islam harus dibatasi dan dijadikan milik pribadi? Jika Islam dibatasi hanya pada pribadi-pribadi, benarkah akan tercipta kehidupan yang rukun di dalam masyarakat? Benarkah Islam tidak bisa dijadikan ajaran resmi negara? Jika Islam dijadikan ajaran negara, benarkah para pemeluk agama lain akan tertindas? Tulisan ini akan memberikan gambaran dan pandangan yang benar tentang Islam, berdasarkan nash-nash yang ada (berasal dari sumber Islam), bukan dari persepsi individu, apalagi tanpa dalil!
Sejak pertama kali risalah Islam diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw, sasaran risalah ini adalah seluruh umat manusia tanpa kecuali. Firman Allah SWT:
Artinya : “Katakanlah “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu (manusia) semua ” (QS. Al A’raaf : 158).
Kelengkapan Dinul Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah SWT, Pencipta seluruh makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang rinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problematika umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah SWT :
Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl : 89).
Ayat ini menegaskan bahwa salah satu fungsi Al Quran adalah menjelaskan (menjawab) segala problematika yang ada di hadapan manusia, di manapun dan kapanpun. Sebaliknya bila manusia (termasuk kaum muslimin) mengabaikan peringatan-peringatan dan hukum-hukum Al Quran maka yang diperolehnya hanyalah kesempitan hidup, kesengsaraan dan kehinaan. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku (berupa sistem hukum Islam), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit ¦”(QS. Thahaa : 124).
Di sisi lain, Al Quran dan Sunnah Nabi memuat hukum-hukum yang lengkap tentang ibadah, berpakaian, makanan, minuman, hukum-hukum tentang ekonomi-perdagangan, harta, distribusi harta, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, tentang peradilan tindakan kriminal, hudud, ta’zir, persaksian, pembuktian (bayyinaat), mahkamah, hingga ke perkara jihad, gencatan senjata, mobilisasi, perjanjian damai, utusan/delegasi. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut pendidikan, aturan sosial, keluarga/rumah tangga dan seterusnya. Semua itu berupa sistem hukum yang cakupannya meliputi seluruh bentuk perbuatan manusia, baik antara manusia satu dengan yang lain, antara rakyat dan negara, antara negara Islam dengan negara lain, antara muslim dan non muslim, antara hamba dengan Allah SWT sebagai Al Khalik. Para ulama dan fuqaha terdahulu maupun sekarang senantiasa memenuhi kitab-kitab hukum/fiqih karangan mereka dengan seluruh pembahasan-pembahasan tadi. Dimulai dari bab Thaharah, sampai bab Peradilan, Jihad atau Imamah (Ulil Amri).
Marilah sejenak kita renungkan berbagai kerusuhan yang ada di negeri ini, baik kerusuhan antar umat beragama seperti di Pontianak, Maluku, dan Poso, Kupang, dan Timtim, antar penduduk kampung yang merebak di mana-mana bahkan di ibukota seperti kasus Matraman, tawuran antar pelajar yang merebak dimana-mana, dan lain sebagainya. Cobalah kita jawab pertanyaan berikut: apakah berbagai fenomena konflik yang menunjukkan tidak rukunnya warga masyarakat itu semua, merupakan hasil dari pemerintah menjadikan Islam sebagai ajaran negara dan menerapkan semua hukum-hukumnya ataukan hasil dari pemerintah menerapkan hukum selain Islam (yakni hukum kufur) warisan penjajah dan memojokkan Islam sebagai milik individu?
Siapapun yang mau jujur pasti mudah sekali menjawab pertanyaan tersebut.
B. ISLAM DAN NEGARA TAK DAPAT DIPISAHKAN.
Al-Quran adalah Kalamullah SWT, yang dipresentasikan dalam bentuk amal perbuatan melalui tindak tanduk Rasulullah saw, baik itu diamnya beliau, ucapannya maupun perbuatannya. Apa saja yang dilakukan, diucapkan dan didiamkan oleh Rasulullah saw. adalah hukum, yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Pengecualiannya hanya pada beberapa perbuatan yang memang ditujukan khusus bagi beliau saja, itupun tentu dengan dalil yang menunjukkannya. Oleh karena itu, siapapun dari kaum muslimin yang ingin mencontoh dan mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, tidak keliru, dan tidak sepotong-sepotong wajib menjadikan perbuatan Rasulullah sebagai rujukan. Firman Allah SWT :
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu (berupa sistem hukum Islam) maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr : 7)
Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang berbuat suatu amal perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya itu tertolak” (HR. Muslim)
Kenyataan dari sirah (biografi) Rasulullah saw telah menunjukkan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak dibatasi pada pribadi-pribadi pemeluknya. Bahkan beliau saw menjadikannya sebagai asas negara Islam. Hal ini tercantum dalam piagam Madinah (watsiqoh Madinah) yang dijadikan peraturan umum antara kaum muslimin dan non muslim di kota Madinah : “Bahwasanya apabila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah –saw- dan bahwasanya Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.”
Disamping itu, bagaimana mungkin ajaran Islam sampai ke berbagai penjuru negeri (termasuk Indonesia) apabila ajaran ini dibatasi dan hanya dimiliki oleh pribadi-pribadi? Bukankah itu berarti memasung kewajiban dakwah Islam kepada umat manusia dan jihad fi sabilillah. Lagi pula Rasulullah bersabda : “Aku telah diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia, hingga mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu adalah Rasulullah. Barangsiapa yang bersaksi (seperti itu), maka terpeliharalah darah mereka, harta mereka dan jiwa mereka, kecuali ada tuntutan (haq) atas perkara tadi.”
Kalau Rasulullah saw sendiri (bisa) menjadikan ajaran Islam sebagai ajaran resmi negara, lalu atas dasar apa mengatakan Islam tidak bisa dijadikan ajaran resmi negara? Siapa gerangan yang keliru?
C. ISLAM OPHOBIA DAN SEKULARISME MERUGIKAN MASYARAKAT
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah dan kekhasan ideologi Islam. Ia adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya serta penentu arahnya, dalam seluruh urusan kehidupan, baik hubungan individual, komunal, regional maupun internasional.
Meskipun demikian bukan berarti masyarakat Islam memvonis mati segala unsur lain yang ada di dalamnya yang memeluk agama selain Islam. Sebab realitas di masa Rasulullah saw yang beliau sebut sendiri sebagai kurun terbaik –khoirul qurun- dimana hukum-hukum Islam diterapkan secara sempurna, ternyata yang hidup di dalam masyarakat Islam saat itu tidak hanya orang Islam, yakni terdapat para pemeluk non muslim, baik itu Yahudi, Nasrani, maupun Majusi. Dan hal ini berlanjut terus hingga masa kekhilafahan yang mencapai 13 abad.
Sungguh kita sendiri tidak mengerti apa yang membuat risau dan gundah hati Gus Dur dan sebagian kaum muslimin –termasuk juga orang-orang non muslim- jika kita “misalnya- memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri, baik ia beragama Islam maupun bukan Islam! Atau jika kita merajam pemerkosa baik ia muslim maupun non muslim! Atau mendera para pemabuk baik ia beragama islam ataupun bukan Islam!
Seorang muslim akan menerima hukum-hukum ini sebagai bagian dari ajaran Islam yang dilaksanakannya secara praktis dalam rangka memenuhi perintah-perintah Allah dan menjauhkan segala laranganNya. Sementara bagi orang-orang non muslim menerima hal ini sebagai undang-undang negara yang wajib mereka patuhi secara disiplin demi menjaga hak dan kewajiban warga negara.
Kalau di masa pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan para khalifah penerusnya selama lebih dari seribu tahun orang-orang non muslim bisa hidup sejahtera di bawah naungan Islam, kenapa orang-orang non muslim sekarang diprovokasi untuk merasa tidak aman hidup di bawah naungan Islam?
Cobalah kita pelajari kasus kerusuhan Mei 1998. Larinya warga keturunan Cina berbondong-bondong keluar negeri waktu itu apakah lantaran merasa tertindas oleh penerapan hukum syaria’t Islam ataukah hasil dari tidak diterapkannya hukum syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?
Justru lantaran masih kuatnya pemikiran sekular yang memisahkan Islam dari kehidupanlah yang membuat, pemerintah, angkatan bersenjata, aparat keamanan dan penegak hukum, bahkan masyarakat sendiri tidak mengetahui bagaimana memperlakukan warga minoritas yang adil dan benar menurut petunjuk Allah SWT. Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa mengganggu seorang dzimmi (non muslim yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah), sungguh (berarti) ia telah menggangguku. Dan barangsiapa yang menggangguku, sungguh ia telah mengganggu Allah.” (HR. Thabrani).
Dan dimasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, beliau menjatuhkan hukum qishas (pembalasan setimpal) kepada anak pejabat Gubernur Mesir yang mencambuk seorang anak Nasrani dari suku Qibthi. Pertanyaan kita, adakah di negara yang tidak menerapkan hukum syari’at Islam, anak pejabat yang sedang berkuasa dibalas cambuk oleh warga minoritas yang lemah dan terzhalimi? Sungguh kerugian besar bagi warga non muslim yang lemah lantaran tidak diterapkannya hukum Islam di negeri ini.
D. PENUTUP
Kini kita tahu bahwa yang menolak dijadikannya Islam sebagai ajaran negara untuk mengatur kehidupan masyarakat sejatinya bukanlah orang-orang non muslim yang membutuhkan perlindungan dan kepastian hukum. Dan bukan pula umumnya kaum muslimin yang selama ini paling banyak dirugikan lantaran tidak diterapkannya syri’at Islam oleh negara. Yang menolak adalah negara kafir adidaya yang memang berideologi sekularisme kapitalisme, dengan tujuan melestarikan kepentingan dan dominasi mereka di seluruh negeri-negeri Islam agar mereka bisa mengeksploitir seluruh penduduk negeri itu dan merampok kekayaannya.
Kalau ada sekelompok orang muslim yang bersikap sama dengan mereka itu sekedar ikut-ikutan. Namun bagi orang yang beriman dan berfikir jernih, mereka pasti akan lebih memilih mengikuti Allah dan Rasul-Nya (daripada mengikuti orang kafir sekuler dan para pengikutnya) jika ingin hidup mulia di muka bumi. Firman Allah SWT:
Artinya : “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran 31).
Juga firman-Nya:
Artinya : “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” (QS. Al Munafiquun 8).
Islam dan Negara Kesejahteraan
Islam and Welfare State
”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang
dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan
zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan,
penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.”
QS, Al-Baqarah: 177
Mendiskusikan Islam dan negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia senantiasa
menarik. Mengapa? Indonesia bukan saja negara yang memiliki sumberdaya alam yang
luar biasa, melainkan pula merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Baqarah di atas, sejatinya memiliki nilai
mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah
kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an
mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memberi pesan tentang keimanan, AlQur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya,
dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan
kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan
mereka yang membutuhkan pertolongan.
Namun kenyataannya, Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan
kesejahteran yang serius. Ironisnya, kontribusi negara sebagai institusi yang seharusnya
memiliki peran penting dalam mensejahterakan warganya, ternyata masih jauh dari
harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan
oleh kegagalan negara dalam memainkan perannya dengan baik. Seakan-akan negara
tidak pernah dirasakan kehadirannya terutama oleh mereka yang lemah (dhaif) atau
dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.
Rendahnya komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial bisa dilihat, antara lain,
dari semangat pemerintah yang saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pasal 2 RUU BHP tersebut, misalnya, dengan jelas
1
Disampaikan pada Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun
2008, Jakarta 18 Januari 2008.
2
Ketua Program Pascasarjana Spesialis Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)
Bandung; Dosen Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
Magister Profesional, Institut Pertanian Bogor. Konsultan di beberapa lembaga internasional. Web:
www.policy.hu/suharto Email: suharto@policy.hu Cellphone: 081324156999 2
menunjukkan “semangat dagang” pemerintah yang membenarkan pihak asing bersama
BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan dengan modal sampai 49 persen. Tanpa
sadar, pemerintah sesungguhnya tengah mengubah jati diri Departemen Pendidikan
Nasional menjadi Departemen Perdagangan Pendidikan Nasional (lihat Suharto, 2007).
Potret Kesejahteraan di Indonesia
Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group,
terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota
besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar)
(Halida, 2008). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden
(73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21%
responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika
ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau
semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit
mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan
makin mudah; dan 2% tidak tahu.
Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP).
Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain
semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia
(63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh
Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi
pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak
menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar
(132) di tahun-tahun mendatang (Suharto, 2007; UNDP, 2007).
Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan.
Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan
(capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi
umur panjang dan sehat; indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah
memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan indikator kemampuan daya beli
mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di
tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep
basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia
untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih ketar-ketir.
Dengan kata lain, alih-alih hidup berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa
terbebas dari lilitan kemiskinan.
Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan (Suharto,
2007). Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58%
dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin
Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia
tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta
jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan 3
melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan
Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar
Rp.5.500 per kapita per hari.
3
Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar
US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara
50-60% dari total penduduk.
Meski terkadang tumpang tindih, potret kesejahteraan ini akan lebih buram lagi jika
dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang oleh Departemen
Sosial diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di dalam kelompok
ini berbaris jutaan gelandangan; pengemis; Wanita Tuna Susila; Orang Dengan Kecacatan;
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA); Komunitas Adat Terpencil (KAT); Anak yang
Membutuhkan Perlindungan Khusus atau Children in Need of Special Protection (CNSP)
(anak jalanan, buruh anak, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang terlibat konflik bersenjata); jompo telantar dan seterusnya. Mereka seringkali
bukan saja mengalami kesulitan secara ekonomi, melainkan pula mengalami social
exlusion – pengucilan sosial akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi.
Negara dan Kebijakan Sosial
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building: Governance and World Order
in the 21
st
Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang
memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan
hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut
konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau
kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi
manusia selama tahun 1990-an di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor
Timur (Fukuyama, 2005; lihat Suharto, 2007).
Selain memperlihatkan kejujuran ilmiah Fukuyama, buku State-Building sekaligus
menjelaskan bahwa dia telah “insyaf” dari “kekeliruan” pemikiran sebelumnya. Dalam
bukunya yang terdahulu, The End of History and The Last Men (1992), Fukuyama
dengan yakin menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia (seakan) telah berakhir.
Pertarungan antara komunisme dan kapitalisme juga telah usai dengan kemenangan
kapitalisme (neoliberalisme). Mengapa kapitalisme menang. Jawabanya adalah karena
sistem ini dianggap paling cocok untuk manusia abad ini. Dan kita tahu semua,
kapitalisme sangat menganjurkan peran negara yang sangat minimal dalam pembangunan
ekonomi, apalagi pembangunan sosial.
Sekarang, dalam bukunya State-Building dengan lantang Fukuyama berkata bahwa
“negara harus diperkuat!”. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa
hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu
pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu
menciptakan kesejahteraan warganya.
3
Poverty line (garis kemiskinan), selain berbeda untuk wilayah perdesaan dan perkotaan, juga berbeda
untuk setiap provinsi setiap tahunnya. Selama Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, poverty line di
Indonesia naik sebesar 9,67 persen, yaitu dari Rp.151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006 menjadi
Rp.166.697 per kapita per bulan pada Maret 2007 (TKPK, 2007) 4
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat significant dalam konteks kebijakan
sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak
dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi
warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang
pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi
dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang
tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional,
kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan
keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial,
pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and
Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa
dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial
kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil
pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta
menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Benar, negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan
sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan
internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun,
sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat
dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai
lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara
memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan
menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat negara
untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha.
Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat
“wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat
“tanggungjawab” (responsibility).
4
Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan
masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal. Melainkan, dua posisi yang bersinergi.
Bahkan di Indonesia, komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya
diperkuat dan bukannya diperlemah, seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar
bebas. Pada era desentralisasi sekarang ini, penguatan negara mencakup juga pembagian
peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda)
diharapkan memiliki agenda kebijakan sosial yang sesuai dengan kondisi daerahnya.
Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pemda tidak hanya dimaknakan sekadar
peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) secara ekonomi, tanpa kepedulian terhadap
penanganan “PAD” (Permasalahan Asli Daerah) secara sosial.
4
Kata “responsibility” berasal dari dua suku kata “response” dan “ability”. Artinya, respon atau tanggapan
yang diberikan tidak bersifat wajib. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan atau ability. Sebagai
ilustrasi, memberikan pendidikan dasar adalah tanggungjawab orang tua anak. Namun, manakala sesuatu
sebab, seperti kemiskinan, membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anaknya, maka orang tua
tersebut tidak dapat dikenakan sangsi. Karena, negara lah yang memikul kewajiban memberikan
pendidikan dasar bagi warga negara yang tidak mampu. 5
Konsep Negara Kesejahteraan
5
Negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada
peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara
dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada
warganya. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…
stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to
the best possible standards.”
Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola
dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya
untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi
warganya (Esping-Andersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Konsep ini
dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat
setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada
masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat
Husodo, 2006).
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai
“penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya
(Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan
didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas
ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta
investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.
Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme
dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan
justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara
sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi
‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya,
welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate
capitalism) (Suharto, 2006). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis
dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa
contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok
Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis
maupun kapitalis (Suharto, 2006).
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial,
negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara.
Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan
kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.
5
Sebagian besar materi pada bagian ini disarikan dari buku penulis, ”Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan
Publik” (2007: 56-64) 6
Sejarah Singkat
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan
beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan
bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness
(atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah
‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan.
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, sesuatu yang dapat
menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang
menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu
diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham
mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan
kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of
welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William
Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai
Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report,
Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five
giant evils’ yang harus diperangi (Spicker, 1995; Bessant, et al, 2006). Dalam laporan itu,
Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya
mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave).
Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negaranegara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi
pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini
memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat
mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu
membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompokkelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat
bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan
pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan
hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki
kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui
lembaga yang disebut negara (Harris, 1999). Ketidaksempurnaan pasar dalam
menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan
ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas
sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem
negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan
pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis.
Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak
warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme. 7
Model dan Pengalaman Praksis
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah
homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan
peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model
negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi (lihat Suharto, 2007):
1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik
kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States
yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, negara
kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan
pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di
Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju
daripada model di Inggris, AS dan Australia.
2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas,
namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni
pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh
negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan
kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini
sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh
Otto von Bismarck dari Jerman.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia
dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama
kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti
orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada
tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk
pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c)
pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang
memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang
luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan
relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial
dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien. 8
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia,
Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai
oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program
kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan
umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta
yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945,
UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk
pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai
penganut negara kesejahteraan model ini.
Negara Kesejahteraan Islam
Pertarungan ideologi pada Abad ke-20 antara kapitalisme dan sosialisme berdampak pada
miliaran umat manusia. Meskipun kapitalisme dianggap lebih unggul, sesungguhnya
ideologi ini telah gagal memberi kesejahteraan bagi kemanusiaan. Di Barat dan bahkan di
negara muslim sendiri telah melupakan bahwa ada satu sistem yang bisa menjadi
alternatif, yaitu sistem negara kesejahteraan Islami (Islamic welfare state). Islam bukan
hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah
agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang
memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Pada
puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada
di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang.
Sistem ekonomi Islam, misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan
menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam
pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada
Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara
melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Sebagai contoh,
zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu
mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba
mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah.
Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan
ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini,
kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi
kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap
penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak
berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga
bersama mereka.” (Hamid, 2007)
Sedikitnya ada dua mekanisme dengan mana sistem negara kesejahteraan Islam
beroperasi, yakni melalui pajak dan jaminan sosial. 9
1. Pajak
Pajak adalah sumber dana pembangunan. Pajak atau zakat dalam Islam memiliki
kedudukan istimewa. Bukan saja diwajibkan, melainkan merupakan salah satu Rukun
Islam. Pajak adalah instrumen penting negara kesejahteraan. Diwajibkannya zakat
mencerminkan kebijakan (sosial) negara. Sebagai kebijakan negara, alokasi pajak harus
mengacu pada hajat hidup orang banyak. Negara harus adil, tegas dan transparan dalam
mengelola pajak. Peruntukan pajak sejatinya untuk rakyat banyak, terutama yang lemah
dan mengalami kesulitan. Negara harus berpihak pada kelompok ini, bukan pada
segelintir kelompok kuat. Kaum elit biasanya jumlahnya sedikit, namun kuat dan kaya.
Negara tidak perlu berpihak kepada mereka, karena mereka mampu mengurus dirinya
sendiri.
Istilah zakat memiliki kesamaan dengan sedekah yang oleh sebagian ulama didefinisikan
sebagai ”pajak negara terhadap muslim”, karena mencakup ”kontribusi” yang harus
dibayar oleh muslim kepada pemerintah terkait dengan usaha pertanian, peternakan,
pertambangan, perdagangan, industri, tabungan, dan profesi (lihat Ali, 2007). Begawan
Ziswaf Indonesia, Erie Sudewo (2008: 330) menyatakan, ”Ibnu Taimiyah tegaskan zakat
sama dengan pajak. Inti negara adalah pajak. Tanpa pajak negara ambruk. Artinya inti
masyarakat muslim adalah zakat. Tanpa zakat, tanpa sedekah kebijakan dari pemimpin,
kemiskinan di Indonesia terbukti terus meningkat.”
Al-Qur’an (9: 60) menjelaskan prinsip pengaturan penditribusian pengeluaran ”pajak”
dalam Islam: ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin,
amil zakat, yang dilunakan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allha maha mengetahui. Allah
maha bijaksana”
Dilihat dari sumber dananya, sedekah dalam Islam terdiri dari infak, zakat dan wakaf
(Sudewo, 2008; 125-6). Sedekah wajib adalah zakat, sedekah sunah adalah infak. Sebagai
sumber dana, sedekah juga dapat berupa wakaf. Berdasarkan pemanfaatannya, ada
persamaan mendasar antara wakaf dan zakat. Sebagaimana zakat tidak dapat digunakan
selain untuk kepentingan mustahik, peruntukan wakaf juga tidak boleh disimpangkan.
Antara nadzir (pengelola wakaf) dengan amil (pengelola zakat) keduanya harus samasama jujur dan amanah. Nadzir wakaf harus patuh menjalankan pesan dari ijab kabul
diwakafkannya sesuatu, sebagaimana amil zakat yang harus patuh pada 8 mustahik yang
telah ditegaskan.
2. Jaminan sosial
Sementara negara-negara Eropa belum memiliki asuransi pengangguran (unemployment
insurance) hingga akhir Abad ke-19, Dunia Islam telah memilikinya sejak awal. Ketika
seseorang terluka atau kehilangan kemampuannya untuk bekerja, mereka kemudian
menjadi tanggungan negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Dia
dan keluarganya memperoleh tunjangan dari dana publik (Hamid, 2008). 10
Hanya resiko-resiko yang berat saja yang menjadi objek asuransi dan inipun berbeda
sesuai dengan waktu dan kondisi sosial. Semasa Islam mulai masuk di masyarakat Arab,
penyakit-penyakit keseharian belum dikenal dan biaya perawatan medis hampir tidak
pernah menjadi persoalan. Kebanyakan keluarga membangun rumahnya tanpa bantuan
orang lain dan tidak memerlukan biaya bahkan untuk sebagian besar bahan bangunan.
Karenanya, mudah dimengerti mengapa saat itu belum ada kebutuhan akan asuransi
kesehatan, kebakaran dst.
Sementara itu, asuransi untuk penawanan dan pembunuhan merupakan kebutuhan bahkan
semenjak pemerintahan Rasulullah SAW. Berbagai skema jaminan sosial juga sudah
mulai dibuat, meskipun masih bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan
penyesuaian. Dalam konstitusi Kota Madinah pada tahun awal hijrah, asuransi seperti ini
dinamakan ma’aqil yang beroperasi seperti ini: jika seseorang menjadi tawanan perang,
tebusan diperlukan untuk memperoleh kebebasannya. Serupa dengan itu, semua bentuk
penyiksaan badan atau pembunuhan harus ditebus dengan pembayaran kerusakan/
kerugian atau uang darah (Ali, 2008).
Nabi sendiri mengorganisasi asuransi ini berdasarkan prinsip saling tolong-menolong.
Para anggota suku dapat menunjuk kepala bendahara dari sukunya sendiri dan setiap
orang harus memberikan kontribusi sesuai kemampuannya. Jika bendahara dari suatu
suku dianggap kurang cakap, suku-suku yang bersaudara atau berdekatan memiliki
kewajiban memberi bantuan. Hirarki juga disusun untuk mengatur unit-unit sehingga
berjalan secara sinergis.
Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khatab, mutualitas dan unit-unit asuransi diatur
berdasarkan profesi, administrasi sipil atau militer, serta wilayah. Pemerintah pusat atau
provinsi memberi bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit tersebut berdasarkan
peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan. Asuransi pada masa itu sudah
mencerminkan prinsip gotong-royong dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi
anggota masyarakat seperti prinsip asuransi modern saat ini. Tetapi, berbeda dengan
perusahaan asuransi kapitalistik, asuransi Islam mengatur mekanismenya berdasarkan
prinsip kebersamaa dan kerja sama yang saling menguntungkan yang ditopang oleh
gradasi piramida unit-unit asuransi yang kemudian memuncak di pemerintahan pusat.
Pada masa Pemerintahan Umar, lembaga sosial berhasil membentuk skema asuransi
pensiun (Ali, 2008). Asuransi ini mencakup semua penduduk termasuk non-muslim.
Semenjak seorang bayi dilahirkan, dia sudah memiliki hak untuk memperoleh asuransi
pensiun. Orang dewasa memperoleh tunjangan minimum yang cukup untuk hidup.
Selain asuransi, jaminan sosial juga dapat berbentuk bantuan sosial, terutama bagi
mereka yang dikategorikan miskin dan cacat yang tidak potensial. Khalifah Umar
melakukan ini dengan menentukan standar hidup minimum yang kelak menjadi rujukan
dalam membuat garis kemiskinan (poverty line). Saat itu, selain menerima tunjangan
uang, orang miskin menerima sekitar 50 kg terigu setiap bulannya. Untuk menghindari
ketergantungan, mengemis dan bermalas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang
menerima bantuan sosial pemerintah diupayakan untuk dapat memberi kontribusi kepada
masyarakat. 11
Kesimpulan
Negara kesejahteraan dewasa ini sudah terbukti mampu mengembangkan ekonomi
sekaligus melakukan perbaikan atas tingkat kehidupan masyarakat. Krisis welfare state
yang belakangan ini sering diperdebatkan, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun
Australia, hanyalah menyangkut ukuran dan kesanggupannya, dan bukan pada soal
keberadaannya. Menurut Spicker (2002), jika pun welfare state di Barat saat ini dianggap
gagal merespon kapitalisme global, sesungguhnya hal itu disebabkan bukan karena
sistem ini boros atau terlalu besar. Melainkan, justru karena welfare state terus menerus
diciutkan.
Sistem negara kesejahteraan bukan hal yang baru bagi Islam. Sebelum Barat
menerapkannya, Dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu. Oleh karena itu, jika
sekarang ada gagasan untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, ini tidak berarti dan
tidak perlu mengikuti Barat. Melainkan, hanya merevitalisasi apa yang secara otentik
dipesankan Islam dan pernah dipraktikkan oleh Dunia Islam sekian abad silam.
Pengalaman penerapan welfare state di Negara Madinah maupun pada masa
Kekhalifahan Umar yang kini diadopsi Barat, merupakan referensi yang berharga.
Yang menjadi persoalan, inisiatif negara kesejahteraan kini telah banyak ditinggalkan
oleh negara-negara Islam. Jika di Barat, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak dan
kelompok rentan mendapat perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara
komprehensif sebagaimana diajarkan Islam, justru di negara-negara Islam atau mayoritas
penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung seringkali
hanya diberikan secara sporadis melalui kegiatan-kegiatan karitatif atau skema-skema
perlindungan sosial ad-hoc dan residual. Kondisi ini pernah disinggung oleh Muhammad
Abduh sekian puluh tahun lalu, ”Di Barat saya seringkali melihat Islam tanpa Muslim.
tetapi di Timur, saya banyak menjumpai Muslim tanpa Islam.” Banyak penguasa Islam
kini hidup bergelimang kemewahan. Para pemimpin Islam kini hidup di istana bagaikan
raja-raja yang terpisah dari rakyatnya. Mereka lebih tertarik dengan jet pribadi, mobil
mewah atau plesiran ke luar negeri. Anggaran negara lebih banyak dibelanjakan untuk
kepentingan militer daripada untuk pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.
Senarai Literatur
Ali, Syed Mumtaz (2008), Social Welfare: A Basic Islamic Value, http://muslimcanada.org/welfare.htm (diakses 10 Januari 2008)
Bessant, Judith, Rob Watts, Tony Dalton dan Paul Smith (2006), Talking Policy: How
Social Policy in Made, Crows Nest: Allen and Unwin
Esping-Andersen, Gosta (1997), “After the Golden Age? Welfare State Dilemmas in a
Global Economy” dalam Gosta Esping-Andersen (ed), Welfare States in
Transition: National Adaptations in Global Economics, halaman 1-31
Fukuyama, Francis (1992), The End of History and the Last Men, New York: Free Press.
Fukuyama, Francis (2005), State-Building: Governance and World Order in the 21
st
Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21),
Jakarta: Gramedia (terjemahan) 12
Hadar, Ivan H (2007),”Pentingnya Ideologi” dalam KOMPAS, 30 Agustus hal.6
Halida, Rizka, (2008) ”Kepemimpinan Nasional: Calon Presiden Muda Bisa Menang”
dalam Media Indonesia, 15 Januari
Hamid, Shahid (2008), An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and The
Welfare State in the Caliphate of Umar (Rta), www.renaissance.com.pk/ (diakses
12 Januari 2008)
Harris, John (1999), “State Social Work and Social Citizenship in Britain: From
Clientelism to Consumerism” dalam The British Journal of Social Work, Vol.29,
No.6, halaman 915-937
Husodo, Siswono Yudo (2006), “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah
disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan
Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research
and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma
MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
Mishra, Ramesh (2000), Globalization and the Welfare State, London: McMillan
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall
Spicker, Paul (2002), Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, London:
Catalyst
Sudewo, Erie (2008), Politik Ziswaf: Kumpulan Essay, Jakarta: Circle of Information and
Development
Suharto, Edi (2007), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara
Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta
Suharto, Edi, (2006), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta
United Nations Development Programme (2007), Human Development Report
2007/2008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World,
New York: Palgrave Mcmillan.