A. PENDAHULUAN
Dinamika dan adu kekuatan antara konservatisme (paham yang selalu menengok Islam ke masa lalu) dan progresivisme (paham yang ingin merekonstruksi Islam untuk masa depan) merupakan agenda laten umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, ketika istilah ‘pembaharuan’ Islam dikemukakan, sikap umat Islam sering ragu-ragu dan ambivalen; antara setuju karena hal itu merupakan kebutuhan dan ragu-ragu karena takut akan menggerogoti doktrin agama. Dalam konteks tersebut, menarik untuk diamati gagasan pembaharuan Abdurrahman Wahid, atau yang terkenal dengan Gus Dur, di Indonesia.
Konservatisme dan progresivisme di Indonesia mengakibatkan munculnya pola pikir tradisionalisme dan modernisme yang masing-masing pola pikir tersebut bersikukuh mempertahankannya. Dua pola pikir tersebut itulah yang mendominasi pemikiran dan pemahaman terhadap Islam di Indonesia yang kemudian disusul pola pikir yang berusaha menggabungkan dua pola pemikiran tersebut yang tampaknya ditransfer dari pemikiran Fazlurahman. Pola pemikiran tersebut dikenal sebagai pola pemikiran ‘neomodernisme’. Pada pola pemikiran Islam yang terakhir inilah tampaknya gagasan-gagasan Gus Dur dapat diletakkan
Neomodernisme sebagai pola pemikiran Islam yang dibangun oleh Fazlurrahman itu mendapatkan sambutan di kalangan intelektual yang tumbuh dari kalangan modernis karena ia mengandung agenda-agenda pemikiran yang progresif yang merupakan tuntutan masyarakat modern. Akan tetapi, agenda-agenda ini dibangun di atas tradisi keislaman sehingga pemikiran yang dikembangkan harus mengapresiasi tradisi. Ini membuat gerakan pemikiran neomodernime tersebut bersentuhan dengan kalangan intelektual yang hidup dan dibesarkan di dalam lingkungan tradisionlis. Oleh karena itu, meski Gus Dur berasal dari lingkungan tradisionalis, namun dapat mengakomodir pola pemikiran Islam neomodernisme ini.
Selain Gus Dur, beberapa intelektual yang dapat dimasukkan kelompok neomodernisme adalah Nurcholis Majid, Djohan Efendi, dan A. Wahib. Meskipun menggunakan ungkapan yang berbeda dalam menyebut pembaruannya, mereka dalam konsepnya mengacu pada tujuan yang sama, yaitu tuntutan bagi perubahan umat sebagai respon atau tantangan modernitas dengan tetap berpijak pada tradisi Islam. Hubungannya dengan dunia Barat, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis terhadapnya dan mengkaji gagasan-gagasannya secara obyektif, demikian pula halnya dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri.
Dengan pola pemikiran neomodernisme sebagaimana telah diuraikan di atas, maka gagasan-gagasan Gus Dur dalam masalah masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena, itu gagasan-gagasannya menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagasannya itu dianggap discourse atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendikiaan di Indonesia sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan dan pribadinya yang public figur selalu menjadi sumber berita bagi pers.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji pemikiran Gus Dur sebagai seorang pembaru yang banyak melontarkan ide-ide atau gagasan-gagasan terutama yang menyangkut masalah-masalah keagamaan. Dengan demikian, yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana ide-ide pembaruan Gus Dur. Selain ide-idenya, biografi singkat perlu juga ditulis sehingga tokoh yang sedang dibicarakan lebih bisa dikenal dengan sebaik-baiknya dan ide-ide yang dicetuskannya bisa lebih mudah dipahami.
B. RIWAYAT HIDUP ABDURRAHMAN WAHID
Abdurrahman Wahid dilahirkan di Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU H{adratus Shaykh KH Hasyim Asy’ari yang masa hidupnya pernah menjadi ketua PBNU, salah seorang penanda tangan piagam Jakarta, serta Meteri Agama pada kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Sedang ibunya adalah putri KH Bisri Syamsuri, seorang yang semasa hidupnya pernah jadi Rais ‘Am PBNU. Dengan demikian, maka Abdurrahman Wahid dilahirkan di tengah-tengah orbit tokoh santri sehingga dia mempunyai keunggulan komparatif dan askriptif yang jarang dimiliki tokoh Islam lain.
Nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman al-Dakhil. Al-Dakhil secara leksikal berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil oleh ayahnya dari seorang perintis dinasti Bani Umai>yah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam. Dalam nama al-Dakhil tersebut terkandung sebuah harapan (tafa>’ul) dari ayahnya agar Gus Dur menjadi seorang penakluk. Tampaknya, harapan tidaklah sia-sia, karena Gus Dur mampu merealisasikan harapan itu. Dia sekarang telah menjadi penakluk, meski ayahnya tidak sempat melihatnya karena semasa Gus Dur berusia 13 tahun ayahnya wafat.
Pendidikan Gus Dur dimulai di keluarganya sendiri, kemudian dia sekolah SMEP di Yogyakarta. Ketika di SMEP tersebut Gus Dur banyak membaca buku-buku yang sulit dipahami bahkan oleh orang-orang dewasa terpelajar sekalipun, seperti What is to be done? karya Lenin yang diinggriskan, Captain’s Doughter, oleh Turgenev, atau karya monumental Marx, Des Capital. Kemudian, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah selama tiga tahun sejak tahun 1956 dengan asuhan langsung KH Chudlori. Dari Tegalrejo, dia pindah ke Tambakberas Jombang selama empat tahun (1959-1963). Pada tahun 1964-1966, dia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir pada Department of Higher Islamic and Arabic Studies. Selepas dari Mesir, dia sempat kuliah di Universitas Baghdad sampai tahun 1970.
Pada tahun 1970, Gus Dur kembali ke Indonesia dan menetap di Jombang. Dari tahun 1973-1974, dia menjadi dosen sekaligus dekan fakultas Ushuludin Unhasy Jombang. Kemudian, ia menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng Jombang. Pada tahun 1978, dia pindah ke Jakarta. Dia mendirikan pesantren Ciganjur sekaligus menjadi pengasuh pesantren itu. Pada tahun itu juga, Gus Dur menjadi ketua DKJ. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU (1984-1999), ketua Forum Demokrasi, dan ketua World Conference on Religion and Peace (WCRP). Kini, Gus Dur menjadi presiden RI keempat (1999-2004).
C. LATAR BELAKANG IDE DAN PEMIKIRAN GUS DUR
Pergaulan yang sangat luas dan bacaan yang sangat banyak membuat Gus Dur mempunyai wawasan intelektualitas sangat luas. Greg Berton menilai Gus Dur sebagai salah seorang pemikir Islam liberal di Indonesia. Menurut Fachry Ali, Gus Dur dalam batas-batas tertentu adalah agamawan dan pemikir yang paling liberal di Indonesia yang menurutnya belum tertandingi oleh Nurcholis Majid sekalipun. Cara berpikirnya yang sangat liberal itulah yang membuat Gus Dur kadang-kadang seperti tidak terkendali dan bahkan bagi kalangan tertentu Gus Dur dinilai nyleneh.
Beberapa pemikiran Gus Dur dapat dilihat di beberapa buku yang merupakan kumpulan makalah seminar dan ceramah-ceramahnya, misalnya; Muslim di tengah Pergulatan yang diterbitkan oleh Leppenas tahun 1983, Bunga Rampai pesantren yang diterbitkan CV Dharma Bhakti tahun 1979, dan masih banyak lagi yang berupa kumpulan makalah bersama penulis lain. Bentuk yang terakhir ini misalnya; Islam Indonesia Menatap Masa Depan yang diterbitkan oleh P3M tahun 1989. Dan masih banyak lagi yang lain ditambah dengan tulisan-tulisannya yang tersebar diberbagai mass media .
Pemikiran pembaruan Gus Dur terdiversifikasi dalam berbagai bidang, tetapi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pluralisme
Menurut Gus Dur berdirinya negara Indonesia ini, lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Pandangan ini dikemukakan karena Gus Dur melihat bahwa kondisi obyektif ini belum dipahami secara tuntas oleh sebagian kalangan pergerakan Islam di Indonesia. Karena itulah, dia berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita. Fungsi ini disebut dengan komplementer.
Gus Dur dalam hal ini tampaknya mencari jalan keluar dari pergumulan antara doktrin-doktrin Islam dan umatnya. Dengan memakai pola pemikiran neomodernisme, dia mencari penyelesaian dengan kembali pada jalan pemikiran tradisionalis Islam yang lunak dan lentur sebagai basis usaha-usaha penyelesaian di masa kini dan masa depan. Dari pendapat ini, maka jelas Gus Dur menolak sifat mutlak-mutlakan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Gus Dur lebih mencari jalan tengah atau pola pemikiran wasat}an. Pemikiran inilah yang sampai sekarang secara konsisten diperjuangkan.
Pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya ‘agenda Islam’ ke dalam ‘agenda nasional’ bangsa secara inklusifistik .
Menurut Din Syamsudin, pemikiran Gus Dur sebagaimana diuraikan di atas lebih tepat sebagai pemikiran yang bersifat substantivistik. Menurutnya, dengan pendekatan substantivistik dalam islamisasi Indonesia membuka ruang bagi terjadinya pribumisasi Islam (domestication of Islam), usaha mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat muslim mempunyai kesadaran kebangsaan, termasuk bahwa negara Indonesia harus dibangun atas dasar kesadaran ini. Implikasi dari implementasi pemikiran Gus Dur ini adalah adanya pluralisme.
2. Universalisme Dan Kosmopolitanisme Islam
Gus Dur, dalam salah satu ceramahnya di Yayasan Wakaf Paramadina menawarkan ide tentang universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Universalisme Islam itu ditunjukkan dalam ajaran kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan yang diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. Menurut dia, salah satu yang dengan sempurna menampilkan universialisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam, baik kepada perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar ialah (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; (3) keselamatan keluarga dan keturunan; (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan (5) keselamatan profesi.
Kelima unsur hak-hak asasi manusia itu, menurut Abdurrahaman Wahid, tidak otomatis menjamin keselamatan umat manusia kalau tidak didukung kosmopolitanisme peradaban umat Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, misalnya hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik, bahkan kosmopolitanisme Islam menampakkan diri dalam watak yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektis berabad-abad. Hal ini antara lain tercermin dalam perdebatan-perdebatan sengit selama empat abad pertama sejarah Islam di bidang teologi dan hukum agama yang di dalamnya perbedaan pendapat tetap memperoleh tempat yang semestinya.
Gus Dur mengatakan, kosmopolitanisme peradaban Islam mencapai titik optimalnya jika tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat, termasuk mereka yang non muslim. Gus Dur menyebut situasi seperti itu sebagai kosmopolitanisme yang kreatif, yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan.
Menururt Gus Dur, universalisme ajaran Islam meliputi beberapa soal: toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian pada unsur-unsur utama kemanusiaan, dan keprihatinan secara arif terhadap keterbelakangan kaum muslimin sehingga akan muncul tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang mencekam kehidupan mayoritas kaum muslimin dewasa ini. Dari proses universalisme Islam diharapkan akan muncul kosmopolitanisme baru yang bersama-sama dengan paham dan ideologi lain membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial ekonomi dan kebiadaban rezim-rezim politik yang lalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajaran Islam dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya Islam mampu memberikan perangkat sumber daya manusia. Mereka itu diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.
Dengan gagasan universalisme Islam dan kosmopolitanisme Islam seperti yang diuraikan di atas, maka Gus Dur menolak pendekatan yang bersifat legalistik-formalistik, skripturalistik ataupun alternatif pandangan dunia (worldview) yang serba apologis. Menurut Gus Dur, pendekatan seperti itu tidak dapat diharap banyak untuk menyelesaikan masalah. Dalam memecahkan masalah kemiskinan misalnya, pendekatan semacam itu tentu hanya akan bermuara pada upaya dakwah semata-mata, dalam pengertian bagaimana memperkuat iman dan bukan sebaliknya bagaimana mempersepsi iman yang dapat menggugah agar masalah kemiskinan dapat dipecahkan secara adil. Gus Dur melihat bahwa masalah kemiskinan seperti di Indonesia hanya dapat dipecahkan melalui upaya transformasitif secara makro, yakni dengan menegakkan demokrasi yang murni, mengembangkan lembaga kemasyarakatan yang adil di semua bidang, dan menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya. Islam tidak bisa memisahkan diri dari perjuangan makro itu, dan sikap mengabaikan hal ini berarti menyimpang dari ajaran Islam sendiri dan mengkhianati aspirasi Islam dalam arti penuh.
Demikian beberapa pemikiran Gus Dur yang menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Dengan pemikiran seperti yang dilontarkan oleh Gus Dur itu, maka Islam akan mampu memberikan jawaban masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini terutama yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini, antara lain kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Tampaknya, Gus Dur ingin dalam era pascaindustri nanti umat Islam juga terlibat dalam membangun budaya dan peradaban bangsa ini khususnya dan umat manusia umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar