Selasa, 24 Agustus 2010

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURALISME (Tinjauan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam)

A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang disebut-sebut sebagai bangsa yang majemuk (plural). Bahkan dikatakan melebihi kebanyakan negara-negara lain. Sebab Indonesia merupakan tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama, tetapi juga multi-budaya. Walaupun, seperti dikatakan Nurcholish Madjid, kemajemukan bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Menurutnya, apabila diamati lebih jauh, dalam kenyataannya tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya.
Kemajemukan dan multikulturalitas mengisyaratkan adanya perbedaan. Bila dikelola secara benar, kemajemukan dan multikulturalitas menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, bila tidak dikelola secara benar, kemajemukan dan multikulturalitas bisa menjadi faktor destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antara kelompok masyarakat merupakan bagian dari kemajemukan dan multikulturalitas yang tidak dikelola dengan baik.
Agama seringkali juga dapat menjadi pemicu timbulnya “percikan-percikan api” yang dapat menyebabkan konflik horizontal antarpemeluk agama. Sudarto menjelaskan bahwa beberapa konflik agama antara kaum Muslim dan Nasrani, seperti di Maumere (1995), Surabaya, Situbondo dan Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Jakarta, Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002), bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik gereja maupun masjid) terbakar dan hancur.
Demikian pula kekerasan-kekerasan yang berbau etnis sering juga terjadi di negeri tercinta ini. Dalam catatan M. Ainul Yaqin, kekerasan terhadap etnis di Kalimantan Barat mulai meletus sejak tahun 1933. Kemudian berturut-turut pada tahun-tahun 1967, 1968, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993, 1996 dan 1997. Di Kalimantan Tengah, pada akhir tahun 2000, terjadi konflik yang sama yang telah menyebabkan ratusan bahkan ribuan nyawa warga pendatang Madura, Melayu dan warga lokal dari suku Dayak melayang sia-sia.
Berangkat dari keprihatinan yang mendalam atas terjadinya beberapa konflik tersebut, maka perlu segera dicari langkah preventif sebagai upaya pencegahan dini, agar peristiwa semacam itu tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Salah satu upaya tersebut, pendidikan dipandang sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran nilai-nilai kehidupan multikultural. Pendidikan berbasis multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau dengan kata yang lain, siswa diajak untuk menghargai bahkan menjunjung tinggi pluralitas dan heterogenitas. Paradigma pendidikan multikultural mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.

B. Fenomena Pendidikan Agama di Tengah Multikulturalisme
Disinyalir bahwa sistem pendidikan nasional yang selama ini berlaku menunjukkan fenomena yang tidak menguntungkan bagi pembentukan proses kultural. Hal ini ditandai dengan praktik-praktik pendidikan yang tidak sehat sebagai berikut: Pertama, pendidikan nasional bersifat monolitik-kultural, etnosentrisme dengan menempatkan budaya induk sebagai acuan atau standar superioritas sehingga sangat merugikan bagi pembentukan integrasi nasional. Kedua, sistem pendidikan Barat dikembangkan di Indonesia, dengan acuan sistem ekonomi internasional sehingga melahirkan ukuran norma-norma yang seragam dalam menilai keberhasilan masyarakat (mobilitas vertikal).
Ketiga, ke-Indonesiaan tidak cukup dibangun dengan identitas sub-nasional dengan basis ras, etnik, budaya, kelas sosial, agama ataupun pengelompokan lainnya. Karena selama ini ke-Indonesiaan tidak berhasil memelihara sistem nilai dan pola perilaku yang berlaku umum dan berlaku untuk menjaga keutuhan masyarakat. Keempat, dunia persekolahan di Indonesia cenderung bersifat elitis untuk mempertahankan status quo dalam struktur sosial yang mapan. Anak-anak Cina mengelompok dalam model sekolah mereka sendiri, demikian pula anak-anak pribumi berkumpul di sekolah negeri, mereka menggunakan simbol etnis, agama dan status sosial. Dengan demikian anak-anak itu sekarang semakin individualistik, materialistik, sektarian, sering menghindari tanggung jawab yang besar, cenderung lebih santai dan tidak pernah peduli dengan nasib orang lain.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional mempunyai tanggung jawab (moral obligation) dalam penyebaran nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme, inklusivisme dan toleransi. Namun kenyataannya pendidikan agama Islam yang selama ini diajarkan di sekolah, pesantren, madrasah dan institusi Islam lainnya turut memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Kautsar Azhari Noer menyebutkan paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan tersebut, yaitu: pertama, penekanannya lebih pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi. Dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.
Sedangkan Muhaimin mengidentifikasi bahwa kegagalan pendidikan agama Islam setidaknya disebabkan karena mengalami kekurangan dalam dua aspek mendasar, yaitu: 1) pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal formalistik (halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya; 2) kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga ranah emosional. Kadang-kadang terbalik dengan hanya menyentuh ranah emosional tanpa memerhatikan ranah intelektual. Akibatnya tidak dapat terwujud dalam perilaku siswa dikarenakan tidak tergarapnya ranah psikomotik.
Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan agama memang masih banyak menuai kritik. Salah satu faktor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memerhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yaitu kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Atau dalam praktiknya, pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islami. Menurut Harun Nasution, pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh trend Barat yang lebih mengutamakan pengajaran daripada pendidikan moral. Padahal, intisari pendidikan agama justru terletak pada pendidikan moral tersebut.
Pengamat pendidikan, Mochtar Buchori, sebagaimana dikutip Muhaimin, juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri dan kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Oleh karena itu, seharusnya para guru/pendidik agama bekerja sama, bersinergi, dan bersinkronisasi dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama-sama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan non-agama jika ia ingin memiliki relevansi terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
Selain itu, ada juga beberapa kelemahan lainnya, baik dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu: 1) dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2) bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; 3) bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian; 4) dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam; 5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; 6) orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.
Siti Malikah Towaf juga mengamati adalanya kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain: 1) pendekatan masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai hidup dalam keseharian; 2) kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh; 3) sebagai dampak yang menyertai kondisi tersebut, GPAI pun kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; 4) keterbatasan sarana dan prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting, seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.
Dalam konteks berbeda, M. Amin Abdullah melihat beberapa kelemahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, yaitu: 1) pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis; 2) pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum; 3) isu kenakalan remaja, perkelahian di antara pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime, konsumsi miras, dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung, memiliki kaitan dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-tradisional; 4) metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era modernitas; 5) pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada; 6) dalam sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, orientasi pendidikan agama Islam selama ini juga kurang tepat. Sebagai indikator kekurangtepatan tersebut adalah adalah: Pertama, pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.
Kedua, tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang mestinya dipelajari lebih awal, tetapi justru terlewatkan. Demikian pula materi pendidikan agama lebih berorientasi pada pemilihan disiplin ilmu fiqih yang sering dianggapnya seolah-olah agama itu sendiri. Bahkan masyarakat menilai bahwa beragama yang benar identik dengan madzhab fiqih yang benar dan diakui mayoritas. Ketika berbeda sedikit saja dengan madzhab yang dianut mayoritas, maka dituduh sebagai aliran sesat dan menyimpang. Berdasarkan hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan pada buku ajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di salah satu kota besar di Indonesia ditemukan bahwa buku ajar PAI tersebut belum sepenuhnya mencerminkan visi penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Ketiga, kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama, sehingga sering ditemukan penjelasannya yang sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya. Hal ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa ajaran-ajaran agama yang dipegang dan dianggap benar oleh pemeluknya adalah ajaran-ajaran agama yang sudah menjadi sejarah ratusan tahun lamanya, yang kadang-kadang kita sendiri tidak mengetahui darimana sumbernya.
Orientasi semacam itu menyebabkan keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama Islam. Dalam kerangka ini, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar. Kedua, mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Dengan kata lain, belajar agama adalah untuk membentuk perilaku beragama yang memiliki komitmen, loyal dan penuh dedikasi, yang sekaligus mampu memosisikan diri sebagai pembelajar, peneliti dan pengamat yang kritis untuk peningkatan dan pengembangan keilmuan.
Oleh karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran multikulturalisme, diperlukan rekonstruksi pendidikan sosial keagamaan untuk memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan dalam pendidikan agama. Maksudnya, kalau selama ini praktik di lapangan pendidikan agama masih menekankan sisi keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri, maka pendidikan agama perlu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial yang tidak semata-mata individual dan memperkenalkan social contract. Dengan demikian, pada diri peserta didik, tertanam suatu keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, kredo. Namun, demi menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau harus rela menjalin kerja sama dalam bentuk sosial antarsesama kelompok warga masyarakat. Dengan reorientasi ini, diharapkan akan terjadi perubahan proses dan mekanisme pembelajaran menuju ke arah terciptanya pemahaman dan kesadaran multikultural kepada anak didik.
Sebetulnya pendidikan agama memiliki signifikansi dan kontribusi yang cukup penting dalam penanaman kesadaran akan pluralitas agama dan kebenaran di era multikulturalitas seperti sekarang ini. Pendidikan agama yang apologetik, reaktif dan tidak afirmatif terhadap umat beragama akan menjadi bumerang bagi pemeluk agama yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan hal ini, penting untuk digarisbawahi bagaimana fungsi institusi pendidikan Islam mendudukkan dirinya di tengah pluralitas nilai dan norma kerohanian masyarakat. Dalam hal ini anak dididik untuk bersikap saling menghargai identitas agama-agama dan kepercayaan apapun yang ada.
Kekhawatiran dan kemasygulan beberapa kalangan bahwa pendidikan multikultural akan mendegradasi keimanan dan tidak sesuai dengan tuntutan fundamental dalam Islam, adalah kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Karena dalam konteks pendidikan multikulturalisme ini, peserta didik tidak diajarkan untuk menihilkan semua nilai dan bahkan merelatifisasinya melainkan tetap untuk mengetahui bahwa Islam adalah agama yang paling benar sembari tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran lain di luar Islam. Salah satu tujuan dari pendidikan multikultural adalah pendidikan Islam yang tidak menjurus truth claim.
Pendidikan multikultural berusaha menanamkan pada anak didik pentingnya beragama secara kualitas, bukan kuantitas. Mereka diajarkan bagaimana mengedepankan substansi daripada simbol-simbol agama. Pesan-pesan agama universal agama seperti keadilan, kejujuran dan toleransi. semuanya merupakan nilai-nilai yang perlu untuk dikembangkan dalam masyarakat plural. Setidaknya peran aktif yang dapat dikerjakan oleh para aktivis pendidikan adalah mengembangkan disain kurikulum dan metode pendidikan agama yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antarpemeluk agama dan kepercayaan. Di sinilah pentingnya pendidikan agama lintas kepercayaan (inter-religious education).

C. Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Multikultural
Dari aspek didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan multikultural. Kurikulum, menurut Hilda Taba seperti dikutip S. Nasution, adalah a plan of learning, yaitu sebuah perencanaan pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Atau menurut Ronald C. Doll, kurikulum merupakan pengalaman yang ditawarkan kepada anak didik di bawah bimbingan dan arahan sekolah.
Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme ini menjadi sangat penting. Namun sebelum lebih jauh memperbincangkan mengenai kurikulum pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, terlebih dahulu akan mengawali pembahasannya pada definisi dan tujuan pendidikan multikultural. Pembahasan tentang definisi dan tujuan ini penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa pemahaman terhadap definisi dan tujuan pendidikan multikultural ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kurikulum pendidikan agama Islam berwawasan multikultural.
Definisi pendidikan multikultural sangat banyak dan beragam. Di antaranya disebutkan bahwa pendidikan multikural merupakan:
1. Suatu program dan praktik pendidikan yang didesain untuk memperbaiki pencapaian akademik pada kelompok etnis dan imigran dan mengajarkan pada kelompok masyarakat yang mayoritas tentang budaya-budaya dan pengalaman-pengalaman kaum minoritas tersebut.
2. Suatu pengetahuan yang menanamkan kesadaran diri seseorang akan arti perbedaan antarsesama manusia dan berbagai budaya dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan dapat digunakan untuk merespon perubahan demografis dan kultural dari suatu masyarakat atau bahkan dunia secara keseluruhan dan dapat digunakan untuk hidup saling menghargai, tulus dan toleran dalam menghadapi keragaman tersebut.
3. Suatu pendekatan progresif untuk pentransformasian pendidikan yang kritis-holistik dan berpusat pada kelemahan, kegagalan dan diskriminasi dalam praktek-praktek pendidikan.
4. Pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan untuk people of colour. Dalam artian bahwa pendidikan multikultural merupakan bentuk pendidikan yang arahnya untuk mengeksplorasi berbagai perbedaan dan keragaman, karena perbedaan dan keragaman merupakan suatu keniscayaan.
5. Pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan maupun sebagai respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
6. Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan multikultural secara luas dimaksudkan untuk memberikan perhatian akademik terhadap kelompok yang termarjinalkan dan memberikan pengetahuan budaya mengenai kelompok tersebut pada kelompok mayoritas. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir perbedaan dan konflik yang mungkin timbul.
Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan multikutural adalah suatu program dalam praktik pendidikan yang di dalamnya tidak hanya dikembangkan potensi manusia namun juga ditanamkan mengenai pemahaman dan pernghargaan akan keserba-majemukan manusia, sehingga akan terpatri sikap tulus dan toleran tanpa adanya diskriminasi dan ketidakadilan di dalamnya.
James A. Banks mengatakan bahwa pendidikan multikural meliputi tiga hal, yaitu pendidikan multikultural sebagai ide atau konsep, sebagai gerakan reformasi dan sebagai suatu proses. Sebagai suatu ide, pendidikan multikultural di arahkan pada keharusan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama bagi setiap siswa tanpa memandang dari kelompok mana mereka berasal. Sebagai suatu gerakan reformasi pendidikan, pendidikan multikultural mencoba untuk merubah kurikulum dan miliu sekolah maupun institusi pendidikan sehingga tercipta pendidikan yang tidak diskriminatif, yang toleran, dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Adapun sebagai suatu proses, pendidikan multikultural mempunyai tujuan terciptanya keadilan dan kebebasan bagi setiap siswa, toleransi, dan kesamaan dalam dunia pendidikan, sehingga hal tersebut harus ditingkatkan (proses) secara terus menerus.
Konsep dasar pendidikan multikultural dikatakan oleh Bennet terdiri dari dua hal, yaitu nilai-nilai inti (core values) dari pendidikan multikultural dan tujuan pendidikan multikultural. Bennet secara tegas menyebutkan bahwa nilai inti dari pendidikan multikultural, antara lain: 1) apresiasi terhadap realitas budaya di dalam masyarakat dengan pluralitasnya; 2) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; 3) kesadaran dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap alam raya. Dengan demikian, inti permasalah pendidikan multikultural adalah terkait denga permasalahan keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yaitu:
1. Tujuan attitudinal (sikap), yaitu membudayakan sikap sadar, sensitif, toleran, respek terhadap identitas budaya, responsif terhadap berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat.
2. Tujuan kognitif, yaitu terkait dengan pencapaian akademik, pembelajaran berbagai bahasa, memperluas pengetahuan terhadap kebudayaan yang spesifik, mampu menganalisa dan menginterpretasi tingkah laku budaya dan menyadari adanya perspektif budaya tertentu.
3. Tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi mengenai berbagai kelompok etnis secara benar di berbagai buku teks maupun dalam pengajaran, membuat strategi tertentu dalam menghadapi masyarakat yang plural, menyiapkan alat yang konseptual untuk komunikasi antarbudaya dan untuk pengembangan ketrampilan, mempersiapkan teknik evaluasi dan membuka diri untuk mengklarifikasi dan penerangan mengenai nilai-nilai dan dinamika budaya.
Lebih jauh, fenomena sosial-budaya seperti wacana multikultural juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Menurut Hamid Hasan, masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki tingkat keragaman yang tinggi, mulai dari dimensi sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum. Kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar juga berpengaruh dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang ada, baik kurikulum sebagai proses maupun kurikulum sebagai hasil. Oleh karena itu, keragaman tersebut harus menjadi faktor yang seyogianya diperhitungkan dan dipertibangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi, dan pelaksanaan kurikulum.
Kurikulum dan materi pendidikan multikultural bagaimana pun tidak dapat terlepas dari dimensi perkembangan pendidikan multikultural. Yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan multikultural bukan berarti terdapat mata pelajaran untuk pengembangan pendidikan multikultural, namun pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai berbagai mata pelajaran bahkan di setiap mata pelajaran, tak terkecuali pendidikan agama Islam.
Kurikulum pendidikan multikultural tidak dapat terlepas dari muatan-muatan (komponen-komponen) tertentu. Adapun komponen yang termasuk di dalam kurikulum pendidikan multikultural, antara lain tentang studi etnis, minoritas, gender, kesadaran kultur, hubungan antarsesama manusia, dan pengklarifikasian nilai-nilai dalam suatu kebudayaan. Hal-hal tersebut termasuk pula mengenai konsep rasisme, perbedaan jenis kelamin, keadilan, diskriminasi, opresi, perbedaan dan semacamnya.
Secara konseptual, pendidikan multikultural menurut Gorsky mempunyai tujuan dan prinsip sebagai berikut:
1. Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi mereka
2. Siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis
3. Mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan, dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam konteks belajar
4. Mengakomodasi semua gaya belajar siswa
5. Mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda
6. Mengembangkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai latar belakang berbeda
7. Untuk menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun di masyarakat
8. Belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang berbeda
9. Untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global
10. Mengembangkan keterampilan-keterampilan mengambil keputusan dan analisis secara kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yaitu:
1. Pemilihan materi pelajaran harus terbuka secara budaya didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini harus menyatukan opini-opini yang berlawanan dan interpretasi-interpretasi yang berbeda
2. Isi materi pelajaran yang dipilih harus mengandung perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok
3. Materi pelajaran yang dipilih harus sesuai dengan konteks waktu dan tempat
4. Pengajaran semua pelajaran harus menggambarkan dan dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dibawa siswa ke kelas.
5. Pendidikan hendaknya memuat model belajar mengajar yang interaktif agar supaya mudah dipahami.
Dari uraian-uraian mengenai pendidikan multikultural tersebut dapatlah dipahami bahwa inti pendidikan multikultural ini adalah dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang serba-majemuk.
Pendidikan agama Islam yang diberikan baik di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah maupun di pesantren-pesantren, hendaknya terintegrasi dengan spirit pendidikan multikultural ini. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum PAI masa depan dengan yang berwawasan multikultural haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1) keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori, model, dan hubungan sekolah dengan lingkungan sosial-budaya setempat; 2) keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses dan evaluasi; 3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan anak didik, dan 4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok; dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusivisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Dari titik ini, sikap-sikap pluralisme itu diharapkan akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda. Oleh karenanya, dalam upaya pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam perlu diperhatikan dimensi-dimensi berikut ini:
1. Pendidikan agama seperti fiqih dan tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqoron (perbandingan). Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
2. Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, dialog tentang puasa yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama.
3. Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan tempat-tempat umum bersama-sama dengan penganut agama lain. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa sekalipun berbeda keyakinan, namun tetap saudara dan dapat saling membantu antar sesama.
4. Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
5. Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan program sahur on the road, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.
Pendidikan agama Islam melalui ajaran akidahnya, perlu menekankan pentingnya persaudaraan umat beragama. Pelajaran akidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah Swt., Nabi Muhamad Saw., dan lain-lain. Tetapi sekaligus juga menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, akidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.
Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuansa SARA seperti yang sering terjadi di Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi keagamaan seperti itu merupakan hasil dari pendidikan agama. Pendidikan agama dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau akidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain. Target kurikulum agama Islam harus berorientasi pada akhlak. Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu memberikan pelajaran fiqih muqoron untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing.
Melalui suasana pendidikan seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti diantara perbedaan manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang memiliki peluang untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.
Pendidikan Islam harus memandang iman, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukannya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antarsesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.
Tujuan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah yang inklusif. Dalam pembelajarannya, tentu saja memberikan perbandingan dengan akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama). Pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap objektif sekaligus subjektif. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair itu tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu agama itu dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.

D. Penutup
Pendidikan Islam yang berwawasan multikultural adalah suatu pendidikan yang membuka visi dan cakrawala yang lebih luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama, sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Dengan demikian, pendidikan jenis ini menekankan pada pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Dengan kesadaran seperti ini, kelak diharapkan akan tercipta kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa batas.
Realitas masyarakat Indonesia yang rentan terhadap konflik dan kekerasan membutuhkan usaha reduksi secara sistematis menuju terciptanya kehidupan yang penuh dengan toleransi. Salah satu media yang sangat efektif dan sistematis dalam proses penanaman dan pemahaman terhadap realitas yang multikultural adalah melalui pendidikan agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, “Problem Metodologis-Epistemologis Pendidikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan dkk., Religiositas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Dawam, Ainurrafiq, “Emoh Sekolah”: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural, Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.
Dolls, Ronald C., Curriculum Improvement: Decision Making and Process, Boston: Alyun&Bacon, In, 1974.
Fahrurrozi, “Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas Daerah Istimewa Yogyakarta,” Jurnal Studi Agama Millah, Vol.IV, No. 2 (Januari 2005)
Hakiemah, Ainun, “Nilai-nilai dan Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Tesis, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Hasan, Hamid, “Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Januari-November 2000
Hidayat, Komaruddin, “Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam (Kata Pengantar)”, dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Husen, Torsten dan T. Neville Postlethwaite (Ed.), The International Encyclopedia of Education, Vol.7, England: Elsevier Science Ltd., 1994.
Ki Supriyoko, “Pendidikan Masyarakat Multikultural”, Kompas, 26 Januari 2004
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Muhaimin dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, S., Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars, 1990.
Sholahuddin, “Humanisasi-Inklusifisasi Pendidikan Islam dalam Konteks Multikulturalisme”, Jurnal Studi Agama Millah, Vol.V, No. 1 (Agustus 2005)
Sudarto, H., Konflik Islam Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan , Magelang: Teralita, 2003.
_______, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.
Yakin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural; Cross-Kultur Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan¸ Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zubaedi, “Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam Dunia Pendidikan”, Hermeunia, Vol. 3, No. 1, Yogyakarta: PPs IAIN Sunan Kalijaga, Januari-Juni 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar