PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah kebudayaan ummat manusia proses tukar-menukar dan interaksi (intermingling) atau pinjam meminjam konsep antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain memang senantiasa terjadi, seperti yang terjadi antara kebudayaan Barat dan peradaban Islam. Dalam proses ini selalu terdapat sikap resistensi dan akseptansi. Namun dalam kondisi dimana suatu kebudayaan itu lebih kuat dibanding yang lain yang tejadi adalah dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Istilah Ibn Khaldun, “Masyarakat yang ditaklukkan, cenderung meniru budaya penakluknya”.
Ketika peradaban Islam menjadi sangat kuat dan dominan pada abad pertengahan, masyarakat Eropa cenderung meniru atau "berkiblat ke Islam". Kini ketika giliran kebudayaan Barat yang kuat dan dominan maka proses peniruan itu juga terjadi. Terbukti sejak kebangkitan Barat dan lemahnya kekuasaan politik Islam, para ilmuwan Muslim belajar berbagai disiplin ilmu termasuk Islam ke Barat dalam rangka meminjam. Hanya saja karena peradaban Islam dalam kondisi terhegemoni maka kemampuan menfilter konsep-konsep dalam pemikiran dan kebudayaan Barat juga lemah.
B. Rumusan Masalah.
Adapun masalah yang akan dibahas adalah seputar pengertian peradaban islamdan juga peradaban islam sebagai ilmu pengetahuan dan dasar-dasar peradaban islam serta sedikit menyinggung tentang perekembangan perdaban islam
C. Pembatasan Masalah
Adapun didalam pembahasan yang akan didiskusikan tidak keluar dan menyimpang dari semua yang ada tertulis didalam makalah ini yang ruang lingkupnya hanya seputar pengantar peradaban islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradaban
Kata Peradaban seringkali diberi arti yang sama dengan kebudayaan. Tetapi dalam B. Inggris terdapat perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Istilah Civilization untuk peradaban dan Culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam B. Arab dibedakan antara kata Tsaqafah (kebudayaan), kata Hadharah (kemajuan), dan Tamaddun (peradaban)
Menurut A.A. Fyzee, peradaban (civilization) dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena berasal dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warganegara yang berkemajuan. Dalam hal ini peradaban diartikan dalam dua cara: proses menjadi berkeadaban, dan suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju.
Suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, mis. Memiliki kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri (pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan dsb), memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian yang indah-indah.
Adapun kebudayaan diartikan bersifat sosiologis di satu sisi dan antropologis di sisi lain. Istilah kebudayan (culture) pada dasarnya diartikan sebagai cara mengerjakan tanah, memelihara tumbuh2an, diartikan pula melatih jiwa dan raga manusia. Dalam latihan ini memerlukan proses dan mengembangkan cipta, karsa, dan rasa manusia. Maka culture adalah civilization dalam arti perkembangan jiwa.
Peradaban Islam memiliki tiga pengertian yang berbeda. Pertama, kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad Saw. sampai perkembangan kekuasaan sekarang; kedua, hasil-hasil yang dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian; ketiga, kemajuan politik atau kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup kemasyarakatan.
B. Meraih Kejayaan Islam dengan Iptek
Berdasarkan penjelasan Ibnu Khaldun tentang kebangkitan suatu peradaban, jika umat Islam ingin membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi¹. Tanpa ini, kebangkitan Islam hanya akan menjadi utopia belaka.
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu, kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup.
Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Dari sini, kita melihat peran vital pendidikan sebagai jalan kebangkitan peradaban Islam.
Lebih penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran masyarakat.
Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam.
Guna memuluskan jalan menuju kebangkitan peradaban Islam ini, umat Islam harus giat belajar, mengkaji, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Demi kemajuan para pemimpin dan umat Islam berada di atas nilai-nilai Islami. Sehingga umat Islam akan menjadi khairu ummah sebagaimana yang disinyalir QS Ali Imran [3]: 110.
C. Dasar-dasar Peradaban Islam
Analisis Historis Dan Konstektual Dalam Kajian Literatur Islam Klasik; Adalah kesepakatan keimanan seluruh kaum muslimin bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama yang dihadirkan untuk menjadi petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia. Pandangan ini didasarkan pada teks al Qur-an : Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembir Dan sebagai pemberi peringatan tetapi kebanyakan manusia tidakmengetahui”. Dalam teks lain dikemukakan bahwa visi atau tujuan akhir yang dibawa oleh agama ini adalah kerahmatan (kasih sayang). Dan ini bukan hanya bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta. Ia adalah agama yang merahmati alam semesta.(Q.S. al Anbiya,21: 107). Berdasarkan teks al Qur-an tersebut, maka seluruh manusia merupakan ciptaan Tuhan Dan semuanya meski memiliki latarbelakang kultural, etnis, warna kulit, kebangsaan, Dan jenis kelaim, menempati posisi yang sama di hadapan-Nya.
Hal ini dinyatakan secara eksplisit Dalam al Qur-an :;Wahai manusia, Kami ciptakan kamu sekalian terdiri dari laki-laki Dan perempuan Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa Dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah;.(Q.S. Al Hujurat, 13). Ini sungguh merupakan pernyataan paling tegas mengenal universalitas Islam Totalitas Islam pada sisi lain muncul Dalam konsep “Trilogi Islam”. Trilogi ini merupakan ajaran yang mewadahi dimensi-dimensi manusia.
Pertama, dimensi keimanan. Dimensi ini berpusat pada keyakinan personal manusia terhadap;Kemahaesaan Tuhan;, pada;al Nubuwwat; (kenabian dan kitab-kitab suci) Dan;al Ghaibiyyat” (metafisika). Dimensi ini biasanya juga dikenal dengan istilah “aqidah”.
Kedua adalah dimensi aktualisasi keyakinan tersebut yang bersifat eksoterik (hal-hal yang dapat dilihat, yang lahiriyah). Dimensi ini berisi aturan-aturan bertingkahlaku baik tingkah laku personal dengan Tuhannya, tingkah laku interpersonal yakni antar suami-isteri Dan bertingkahlaku antar personal. Dimensi ini biasanya disebut “syari’ah”. Ketiga aturan ini kemudian dirumuskan oleh para ulama Islam sebagai : aturan ibadah, aturan hukum keluarga (al ahwal al syakhshiyyah), Dan aturan mu’amalat atau pergaulan antar manusia dalam ruang publik dengan segala persoalannya.
Dimensi ketiga adalah aturan-aturan yang mengarahkan gerak hati (dimensi esoterik) yang diharapkan akan teraktualisasi dalam sikap- sikap moral luhur atau al Akhlaq al Karimah. Ini biasanya disebut juga dimensi “tasawuf/akhlaq”.Seluruh dimensi ajaran Islam tersebut diambil dari sumber-sumber otoritatif Islam yakni al Qur-an Dan Hadits Nabi. Kedua sumber utama Islam ini mengandung prinsip-prinsip, dasar-dasar normatif, hikmah-hikmah Dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan bagi hidup Dan kehidupan manusia. Al Qur-an menyatakan : “Kami tidak melupakan sesuatupun di Dalam al Kitab”. Q.S.Al An’am,6:38). Dari sini para ulama kemudian mengeksplorasi Dan mengembangkan kandungannya untuk menjawab kebutuhan manusia Dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah.
Ekplorasi Dan pengembangan tersebut dilakukan melalui alat Analisis yang bernama Ijtihad, Istinbat atau Ilhaq al Masail bi Nazha-iriha atau sebutan lain yang identik dengan aktifitas intelektual. Alat-alat Analisis inilah yang kemudian melahirkan khazanah intelektual Islam yang maha kaya Dalam beragam disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang kemudian menciptakan peradaban Islam yang gemilang. Aktifitas intelektual kaum muslim paling produktif Dalam sejarah Islam lahir pada tiga abad pertama Islam.Menelusuri aktifitas intelektual kaum muslimin pada tiga abad pertama Islam kita menemukan bahwa para sarjana Klasik Islam Klasik ternyata tidak melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama dan pengetahuan umum (sekuler). Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan adalah ilmu Allah yang mahakaya. Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan dengan mengadopsi secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik Dan Persia terutama Dalam bidang filsafat Dan fisika.Aspek Hukum Islam Pada tataranpengetahuan keagamaan, bidang paling hidup Dan produktif adalah bidang hukum. Ini memang wajar karena tingkahlaku manusia senantiasa bergerak dalam ruang Dan waktu yang semakin meluas cepat disamping ini paling mudah dipahami banyak orang. Maka sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah menghasilan ratusan para ahli hukum Islam terkemuka (mujtahidin) selain empat Imam mujtahid; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i Dan Ahmad bin Hanbal. Mereka bekerja keras untuk mengeksploitasi Dan mengembangkan hukum Islam bagi keperluan masyarakat yang senantiasa berkembang. Masing-masing dengan metodanya Dan kecenderungannya sendiri-sendiri.
Produk-produk hukum mereka yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan “fiqh”, senantiasa memiliki relevansi dengan konteks sosio-kulturalnya masing-masing. Jika kita harus memetakan pola fiqh ke empat mazhab paling terkenal di atas, maka dapat kita kemukakan : Mazhab Hanafi adalah mazhab ahl al Ra’y (rasionalis), mazhab Maliki; mazhab “muhafizhin” (menjaga tradisi), Syafi’i mazhab al Tawassuth, Dan Hanbali ; mazhab “mutasyaddidin”. Pembagian pola atau katagorisasi ini tentu saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai kecenderungan utama atau umum. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka Dan para pengikutnya yang awal senantiasa saling menghargai pendapat lainnya. Satu pernyataan yang sering dikemukakan mereka adalah “Ra’yuna Shawab Yahtamil al Khatha’ wa Ra’yu Ghairina Khatha Yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru, Dan pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja benar).Sikap menghargai pandangan orang lain yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Malik bin Anas melalui penolakannya terhadap Khalifah dinasti Abbasiyah, Abu Ja;far al Manshur yang menghendaki kitab;Al Muwattha; sebagai rujukan hukum bagi seluruh masyarakat muslim. Kepada Khalifah beliau mengatakan :;anda tahu bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum sesuai dengan kemaslahatan setempat. Biarkan masyarakat memilih sendiri panutannya. Maka saya kira tidak ada alasan untuk menyeragamkannya. Sebab tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim kebenaran atas nama Tuhan sekalipun”.(Inna likulli qawmin Salafan wa Aimmah).
Upaya-upaya ke arah pengembangan hukum Islam sesudah abad IV H, memang kemudian mengalami proses stagnasi atau tidak berjalan secara progresif. Kecenderungan umum keberagaman umat Islam adalah mengikuti apa yang sudah ada, yang sudah jadi, produk para ulama sebelumnya. Pemikiran mereka direproduksi Dalam beragam pola ; syarh, hasyiyah, matan Dan nazhm. Kebutuhan Menghidupkan Teks Dewasa ini sangat disadari bahwa produk- produk Islam tidak lagi cukup memadai untuk menjawab berbagai problem baru produk modernitas. Karena itu upaya- upaya menghidupkan teks-teks fiqh, sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dilakukan oleh umat Islam.
Beberapa hal yang bisa dijadikan dasar kontekstualisasi adalah : Mengkaji substansi, kausalita; hukum yang terdapat Dalam teks. Cara ini sejalan dengan kaedah fiqh : Mengkaji sosio-kultural Dan Politik yang melatarbelakangi teks-teks fiqh Klasik. Menjadikan realitas sosial baru sebagai bahan Analisis bagi kemungkinan dilakukannya erubahan hukum. Ini sejalan dengan kaedah “Taghayyur al Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azminah wa al Amkinah”(hukum bisa berubah karena perubahan keadaan, zaman Dan tempat). Perubahan hukum tersebut harus selalu mengacu pada empat hal : Keadilan.
D. Priodesasi Perkembangan Peradaban Islam
Sejak awal, Rasulullah SAW tidak pernah mengajar sistem feodal atau monarki. Maka, pemilihan khalifah (pada masa khulafaur rasyidin) dilakukan dengan tiga model pemilihan: aklamasi; penunjukan; atau (ketiga) melalui tim formatur (dewan syura).
Sementara di bidang ekonomi, Nabi SAW mewariskan prinsip: mengakui hak individu berikut penggunaannya; kepemilikan pribadi itu harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT; dan (prinsip ketiga) harta tersebut harus disalurkan kepada fakir miskin atau yang lebih membutuhkan. Sedang sistem sosial Islam merangkul semua lapisan masyarakat; mempertalikan si kaya dengan si miskin, dan raja dengan rakyat. Tidak ada kasta-kasta dalam Islam.
Islam menyajikan sistem tolong menolong antarumat dalam lapangan politik, perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan Romawi.
Semasa Dinasti Umayyah (Amawiyah) berkuasa (661-770M), banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik.
Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan kekuasaan Umayyah berkembang di sebelah Timur sampai ke Oxus, bagian barat India sampai Punjab dan Lahore. Di Utara, dikuasainya Pulau Rhodes, Cretta, sampai Konstantinopel. Sementara di Barat, dinasti ini menguasai seluruh Afrika Utara, Aljazair, Tangiers dan Spanyol.
Ketika Bani Umayyah digantikan Bani Abbasiyah (750-1258M), ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang lebih pesat. Gerakan keilmuan lebih bersifat spesifik. Di bidang astronomi, astronom pertama Muslim Muhammad ibnu Ibrahim Al-Farazi (777M) membuat astrolobe atau alat ukur ketinggian bintang. Lalu ada Ali ibn Rabban Al-Tabari (850M) sebagai dokter pertama yang mengarang buku Firdaus Al Hikmah. Tokoh kedokteran lainnya adalah Ibnu Sina, Al Razi dan Al Farabi.
Sementara di bidang kimia, muncul Jabir ibn Hayyan sebagai Bapak Ilmu Kimia Islam. Kimiawan Muslim lainnya ketika itu adalah Al Razi dan Al Tuqrai (abad ke-12M). Muncul pula sejarawan seperti Ahmad al-Yakubi dan Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Sedang ahli ilmu bumi termasyhur Ibnu Khurdazabah (820-913M).
Khusus di bidang hadits, dilakukan penyempurnaan, pembukuan dan pencatatan dari hafalan para sahabat. Mulailah dilakukan pengklasifikasian secara sistematis dan krologis, sehingga muncul apa yang kita kenal sebagai hadits shahih, dhaif, maudhu.
Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi sebuah hadits . Apa yang disajikan Ajid Thohir dalam bukunya Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam terbitan Rajawali Pers (PT Raja Grafindo Perkasa) ini membuktikan argumentasi reformis Islam asal Mesir Muhammad Abduh bahwa sangat tidak benar (persangkaan Barat selama ini) mengaitkan Islam dengan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Justru Baratlah yang kemudian mencomot apa-apa yang terbaik dari peradaban Islam.
1. Pecahnya Kekhalifahan
Umayyah adalah penguasa pertama yang mengubah sistem pemerintahan Islam, dari yang bersifat demokrasi menjadi monarki absolut Demikian pula Bani Abbasiyah meski berdasarkan nilai kebersatuan, moderat, universal, dan kesamaan hubungan dalam hukum merupakan daulat yang dibangun dengan sistem suksesi turun temurun .. Ketika terjadi konflik internal keluarga dan pada saat mereka kehilangan kendali terhadap daulat-daulat kecil, maka pecahlah kekuasaan kekhalifahan.
Di wilayah Barat, Andalusia, Dinasti Umayyah bangkit lagi dengan mengangkat Abdurahman Nasr menjadi khalifah/Amir Al-Mukminin. Di Afrika Utara, Syiah Amaliah membentuk Dinasti Fatimiah. Sementara di Mesir muncul Muhammad Ikhsyid sebagai penguasa dari Bani Abbas. Di Baghdad pusat kekuasaan Abbasiyah sendiri, berdiri Bani Buwaihi. Yaman dan Tunisia pun bangkit.
Kekuasaan Umayyah dihancurkan Abbasiyah, karena ketidakadilan dalam kebijakan land reform serta konflik berkepanjangan dengan kaum Syiah. Sedang Daulat Abbasiyah dihancurkan pasukan Tartar dari Mongolia, ketika kejayaannya juga terus merosot dan lemah.
Ajid Thohir secara sistematis menyajikan bagaimana prosesi sejarah peradaban di kawasan dunia Islam ini berjaya dan jatuh bangun. Juga ia hadirkan keinginan-keinginan untuk mendirikan negara Islam, seperti yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Ir Soekarno.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradaban seringkali diartikan sama dengan kebudayaan menurut a.a. Fyzee, peradaban (civilization) dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena berasal dari kata civies (latin) atau civil (inggris) yang berarti seorang warganegara yang berkemajuan
Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup.
Islam menyajikan sistem tolong menolong antarumat dalam lapangan politik, perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan Romawi.
B. Saran
Diharapkan kepada seluruh mahasiswa pada umumnya. Dan pada mahasiswa/1 semester empat pada khususnya. Agar lebih belajar dengan giat tentang sejarah peradaban islam karena agar kita lebih mengenal bagaimana sebuah peradaban tejadi yang pada makalah ini dititik beratkan pada peradaban islam.
DAFTAR PUSTAKA
Subhi Mahmasani, Falsafah al Tasyri; fi al Islam,
Abu Ishaq al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah Tijariyah Kubra, Kairo,
Science And Civilization in islam, pengarang : seyyed Hossein nasr. penerbit : Barnes & Noble Books, State University of New York dialih bahasakan oleh DR. yazid penerbit Press, 1993
Abu Ishaq al Syathibi, dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Maktabah Tijariyah Kubra, Kairo diterjemahlkan oleh. Mukhsin dkk diterbitkan oleh yayasan UIN Jakarta- mei 2006
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam Penerbit: Rajawali Pers Penulis: Ajid Thohir Cetakan I: September 2004 + 364 halaman science And Civilization in islam, pengarang : seyyed Hossein nasr. penerbit : Barnes & Noble Books, New york : hal : 97- 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar